Reza Rahardian yang memiliki keluarga pluralis merasa mengucapkan ucapan bagi ibunya yang non muslim tidak mempengaruhi kadar keimanannya. Apa yang ia nyatakan itu dikutip oleh media online dan ada komentar seperti ini, "Haruslah, ibumu kamu doakan, biar jadi mualaf, dasar..." atau "Ngajinya kurang ya...." Heeem...
Salah satu pembicaraan paling hangat menjelang Lebaran adalah kue yang paling menarik. Menarik bagi pembuat kue baik kelas rumah tangga hingga toko kue terkenal berkisar pada kue puteri salju, nastar, kastangel, dan beberapa nama lain. Sayang ke semuanya beraroma barat. Menggantikan panganan khas masing-masing daerah. Paling tidak bagi saya yang orang ndeso di Jawa Tengah, akan kehilangan, rengginang, onde-onde ceplis, kuping gajah, banjar, kembang goyang, dan makanan tradisional lainnya yang tergeser oleh kue "impor" itu.
Untung soal kue ini belum didengar kelompok kuping tipis yang mudah melabeli segala sesuatunya untuk kelompok dan dirinya. Jika suatu saat mereka sadar dan merasa itu tidak sesuai dengan "lidah" mereka akan dihujat dengan label agama. Atau misalnya suatu waktu mereka nanti akan membuat bisnis dan apa yang ia jual tidak menarik, karena kalah dengan kastangel dan kawan-kawan akan ada label yang sangat lucu dan naif.
Agama Gaya Baru
Agamanya sama, namun penghayatannya yang jauh berbeda. Coba bandingkan saja, dulu becanda soal agama itu biasa banget, tidak menjadi heboh dan kegentingan yang amat sangat. Bagaimana itu semua hilang? Coba apa tidak lucu ketika semua harus dilabeli dengan agama. Orang sudah meninggal pun dikaitkan dengan agama tertentu, yang dulunya tidak pernah. Atau lembaga dan jabatan pun harus memiliki agama.
Ingat ini bukan soal kepercayaan, soal keyakinan, apalagi soal syahadat. Namun mengenai pemaknaan yang jauh berbeda dan berubah. Agama yang esensinya memberikan norma untuk berbuat kebaikan sudah jungkir balik bahkan untuk membenarkan perilaku tamak, perilaku keji, perilaku suka kekerasan tetapi dilabeli agama dan seolah itu sah. Apakah demikian tentu saja tidak.
Agamanya sama, orang yang mempercayainya sama, namun ada pergeseran yang amat jauh. Mengapa?
Kepentingan politik. Jelas orang politik yang menunggangi apapun yang menguntungkan. Saat agama begitu menjanjikan, mengapa tidak? Lihat saja polah mereka, apakah mencerminkan hidup beragama dengan baik dan pantas dalam tataran normatif saja. Bagaimana memfitnah jadi gaya hidup. Maling bukan hal yang salah. Bahkan teroris yang mmebunuh tanpa alasan pun dibela coba, mana adaaa orang beragama demikian.
Agama sebagai label dan kedok semata. Agama masih sebatas ritual, upacara, bukan hal yang esensial. Maka akan mudah menemukan orang dengan mudah diprovokasi, disiram hanya oleh air panas saja sudah membara coba? Bagaimana mengatakan orang beragama namun mudah marah, hunus pedang dan kekerasan.
Taat azas yang lemah. Hukum baik hukum positif dan agama tentu tidak akan ada yang bertentangan. Namun karena kepentingan, hukum agama dan hukum positif pun dihayati sesuka hati dan kepentingan. Dengan mudah kemarin menggunakan ayat dan pasal yang sama untuk kasus yang bertolak belakang. Jika orang taat azas tidak akan demikian perilakunya.
Keteladanan. Satu kata dan perbuatan jauh dari harapan bangsa ini. Bagaimana tidak tokoh agamapun melakukan perilaku buruk dengan kepala tegak. Tidak malu mengatakan kebohongan demi jabatan dan uang. Siapapun pelakunya, apapun agamanya tidak jauh berbeda.
Kacaunya tatanan hidup bersama. Bagaimana tidak kacau kalau hukum agama ditafsir secar politis, sedang perilaku politik diterjemahkan dengan aturan agama. Hal ini bukan mau membuat dikotomi atau pemisahan satu sama lain, namun tempatkan pada posisi dan proporsi masing-masing.