Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revisi PP 99 2012, Solusi Rusuh Penjara, atau Negara Takut Preman?

27 April 2016   07:18 Diperbarui: 27 April 2016   08:02 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kerusuhan demi kerusuhan lapas terjadi. beberapa hal aneh ada di sana, salah satunya bagaimana mereka bisa menghimpun kekuatan dengan berdiskusi, mengumpulkan  massa untuk bersama bergerak melakukan kerusuhan, sangat tidak mungkin tanpa persiapan dan spontan terjadi. ada kasak-kusuk yang mendahului.  Berarti ada yang tidak berjalan yaitu soal pengawasan. Pengawasan yang lemah dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Selalu saja mengatakan penjara terlalu penuh dan sudah melebihi daya tampung. Dulu pasti soal gaji, kini akan malu kelihatannya karena gaji sudah membaik. Soal kelebihan ini ide demi ide dilontarkan, ada pemerataan ke lapas dan penjara di daerah  yang tidak penuh, ada pula pemilik narkoba sekian tidak dipidana namun direhab, atau remisi dan pembebasan bersyarat. Semua sah-sah saja, namun bukan berarti bahwa tekanan penghuni yang berkaitan dengan melawan kebijakan negara langsung ditangapi dengan baik. Berbeda ketika mereka berdemo atau melakukan aksi  karena adanya kejahatan di lapas yang didiamkan hal ini patut diapresiasi.

Penyelesaian dengan jalan pintas yang tidak menyelesaikan masalah dan malah menambah masalah. Selalu saja idenya demikian. Menteri hukum melontarkan ide agar tidak terlalu penuh dan ada gejolak, perlu adanya revisi PP 99 yang menyatakan remisi narkoba, terorisme, dan korupsi ditangguhkan. Eh malah mau dilepaskan dengan bebas lagi dengan dalih diskriminatif. Pak Menteri mereka apa ketika maling, membunuh saudaranya dengan narkoa dan bom  juga memikirkan dampaknya? Sama sekali tidak kog. Benar hukum bukan balas dendam namun pembinaan untuk memiliki kesadaran.

Kesadaran tidak ada, malah menjadi, ada apa di lapas? Ini persoalan, bukan soal tuntutan dengan kerusuhan kemudian tergopoh-gopoh dijawab dengan baik, responsif, dan seperti diamini begitu saja. Pertama,soal diskriminasi, jangan-jangan nanti mereka tidak mau dipenjara, lho mengapa harus dipenjara, wong saja berdagang, maling, mengebom demi mencari sesuap nasi. Diskriminasi yang lain saja boleh saya kog tidak. Kedua,penjara penuh bukan berarti melonggarkan hukuman, jangan-jangan nanti semua dibebaskan dengan alasan penuh. Hukum mati yang sudah divonis bertahun-tahun, bedakan boleh maling ayam untuk makan berbeda dengan maling anggaran negara karena rakus. Ketiga,pembinaan, bukan malah membina penjahatt lebih jahat lagi. Hal ini bertahun-tahun terjadi. Keempat, akademisi, cerdik pandai, dalam berbagai bidang itu melimpah di Indonesia, libatkan mereka sehingga memiliki lapas dan penjara yang manusiawi, memberikan efek jera, dan benar-benar ada kesadaran menuju lebih baik sekembalinya ke masyarakat. Namun kini kita saksikan berapa banyak yang berubah baik atau tambah jahat. Itu fakta. Kelima, penjara malah menjadi surga bagi pelaku kejahatan kelas kakap, bisa membuat pabrik, mengendalikan kejahatan demi kejahatan dengan alat komunikasi dengan leluasa, ada apa? Jelas bahwa pengawasan, pembinaan, dan   pelaksanaan hukum itu belum tercapai sebagaimana mestinya.

Paling lucu dan aneh lagi, negara harus menanggung beban rusuh itu. Negara ini apa akan selalu kalah dengan preman, maling, dan penjahat terus menerus? Kalau tidak salah ingat baru walikota Surabaya yang meminta sebuah perusahaan membayar beaya kerusakan taman, lainnya pasti negara yang menanggungnya. Bolehlah negara hadir dan menanggung jika itu bencana atau karena kecelakaan. Lha kalau tentara atau polisi membakar markas rekannya kemudian negara harus menanggung? Atau seperti lapas ini juga negara harus menanggungnya, belum lagi kerusuhan demii kerusuhan yang berujung pembakaran, seperti kalah pilkada. Pidana diterapkan namun mereka juga harus bertanggung jawab bisa dengan kerja sosial, mereka membangun, atau denda uang. Itu hakim dan menteri yang bisa memikirkannya.

Revisi PP bukan solusi malah menambah masalah iya. Menteri harus jauh lebih cerdas dengan melibatkan banyak pihak, menteri sosial dan jajarannya, jangan dengan sederhana mengubah perundangan yang sedang dicoba diterapkan. Coba dipikir balik, bagaimana korupsi, terorisme, dan penyalahguna narkoba belum berubah malah mengendorkan hukum yang sedang dicoba. Evaluasi menyeluruh bukan asumsi dulu.

Hukum pelaku kerusuhan dengan pembakaran termasuk denda. Tentara dan polisi, politisi kalah yang melibatkan preman bayaran juga harus diseret ke meja hijau, pidana dan kerja sosial, untuk efek jera. Enak saja membakar dan negara yang harus membangun.

FPI sudah reda, akankah napi-napi menjadi preman baru untuk menekan negara? Negara tidak boleh kalah oleh sekelompok orang yang mau enaknya sendiri. Tidak ada diskriminasi di sini, sekali lagi hukuman bukan balas dendam, namun perlu juga memikirkan bagaimana korban, keluarga, dan telah mereka rugikan?

Menyelesaikan masalah itu perlu berpikir bukan langsung berucap yang malah menjadi masalah baru. Jika berkaitan dengan perundangan lebih baik dikaji mendalam tidak asal bicara dan tanpa mengadakan evaluasi secara menyeluruh.

Penjara itu memberikan efek jera, banyak pembatasan jelas iya, dan tempat untuk mengubah orang tersesat menemukan jalan terang, bukan malah makin dalam terperosok, maling ayam dibina malah jadi maling anggaran.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun