Setelah tandingan merajalela, kini presidium penyelamat hendak menjadi pahlawan. Presidium Penyelamat Jakarta, salah satunya, dan satunya ada waktunya untuk membahas. Penyelamatan berari ada pada kondisi kritis atau berbahaya, atau proses menyelematakan, cara untuk mengeluarkan dari keadaan yang berbahaya. Secara jernih apakah yang membahayakan Jakarta dalam waktu yang semendesak ini? Banjir, macet, dan birokrasi berbelit, dan ini ada di mana-mana.
1.Banjir. Apa yang sudah dilakukan oleh gubernur adalah mengelola mengenai penyebab banjir dan hal yang berkaitan dengan penyebab banjir, penataan sunga, pembuatan dan pengerukan bendungan, dan itu baru semua, selama ini ada di mana para gubernur yang sudah sekian lama ada itu? Pembebasan lahan yang menjadi hunian, padahal itu adalah daerah aliran sungai. Penegakan hukum untuk pembuangan sampah yang sekian lamanya peraturan tinggal peraturan tanpa adanya penanganan dan tindak lanjut lebih jauh.
2.Macet. Pemikiran untuk pembatasan kendaraan, aneka model ditawarkan meskipun masih pro kontra terus menerus, perbaikan angkutan massal, pengadaan sarana baru angkutan massal, penataan perparkiran yang menyumbangkan kemacetan pula.
3.Birokrasi yang kacau. Beberapa kali ketahuan bahwa birokrasi kacau itu menimbulkan korupsi, inefisiensi, dan kacaunya jalannya pemerintahan dan birokrasi. Apakah itu baru zaman Ahok atau Jokowi? Tentu bukan. Itu sudah turun menurun sejak lama, dan tidak pernah ada tindak nyata.
Berkaitan dengan penyelamatan tersebut, dari apa? Kalau dari macet, korup, dan banjir telah dilakukan dengan relatif lebih baik dari pada waktu-waktu yang telah lampau. Mengapa para pahlawan kesiangan ini tidak bekerja sejak dulu saja?
Kemudian alasan lain dikemukakan, Ahok bekerja menguntungkan sekelompok orang. Itu memang benar, Ahok bekerja untuk sekelompok orang baik dan yang taat azas. Maka orang yang tidak taat azas membuat kondisi tidak baik dengan acara demo-demo, bahkan sekarang sudah bukan mendapat apresiasi namun caci maki. Macet, kerusakan taman, dan kegaduhan bahkan kebencian sektarian semakin menggejala. Dari sini ada dua hal yang bisa dipetik:
1.Mereka yang berteriak-teriak di waktu keadaan ada harapan lebih baik, adalah orang yang kepentingan jeleknya bagi masyarakat secara umum terganggu. Siapa mereka, jasa parkir liar, pemberi kredit berupa lintah darat yang kehilangan mata pencaharian, dan jasa keamanan liar alias preman yang tentu tidak mau adanya ketertiban dan keamanan yang terjaga.
2.Siapa sih yang ada di balik aksi-aksi itu? Sama sekali tidak ada yang memiliki tradisi prestasi baik dan membanggakan dalam menata kota dan mengelola pemerintahan. Maaf malah lebih banyak keburukan yang ditampilkan, kekerasan, mengedepankan kebencian ketika berbeda, memaksakan kehendak, dan menyitir hukum perundangan sesuai dengan kehendak pribadi dan kelompok.
Program Kerja yang ditawarkan adalah:
1.Blusukan. Program kerja yang dihujat saat dilakukan Jokowi, namun diambil alih karena menguntungkan sepanjang disukai rakyat. Standart ganda yang selalu saja dipakai. Ironis saat mengatakan kalau Ahok datang lempari saja telor asin, apakah ini bukan tindakan makar di dalam aturan perundangan yang jelas dan pasti. Mengapa kekerasan dan provokasi kekerasan tidak ada tindakan tegas. Alasan yang dikemukakan bisa dipastikan belum terjadi, untuk mengatasi ketidakberanian aparat keamanan menghadapi preman. Negara kalah dengan pengacau keamanan dengan kedok agama. Makin hari makin seenaknya sendiri.
2.Hak Angket. Mereka tidak mengerti hal ini ternyata, kalau sudah gubernur ngapain ngadakan hak angket segala?
3.Tebar kebaikan. Kebaikan bisa ditebarkan kapan saja, di mana saja, mengapa menebar kebaikan ketika menjadi gubernur? Apakah sekarang tidak bisa, malahan menebarkan kebencian dan kekisruhan. Bisa dilihat bahwa kekuasaan yang dicari bukan kebaikan yang hendak ditebarkan. Siapa yang memusuhi kebaikan, apakah itu kebaikan? Bukankah yang menolak kebaikan adalah keburukan? Kalau hendak menebarkan kebaikan dukung saja Jakarta yang lebih baik, tidak macet, tidak banjir, dengan mengawasi pembuangan sampah bukan menambah sampah saat selesai demo. Memperlancar jalanan, bukan malah memacetkan dengan alasan agar kebaikan bisa ditebarkan.
Keanehan lainnya,
1.Alasan yang digunakan adalah kenaikan BBM. BBM naik atau perubahan harga selalu dilakukan oleh semua presiden, bahkan ada presiden yang menaikkan hingga dua tiga kali, mengapa ini yang dibesar-besarkan. Obyektif, dna logislah kalau menganalisis keadaan. Bukannya keadaan dibuat-buat mendukung pendapatnya sendiri.
2.Membuat Jakarta lebih religius. Benarkah demikian? Mengapa ketika ada perbedaan harus dibalas dan dijawab dengan “pemunahan” dan kekerasan. Adakah agama mengajarkan kekerasan dan kebencian yang mengerak demikian?
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H