Melihat fenomena persepakbolaan Indonesia masih jauh dari prestasi, baik regional apalagi internasional, saat lokal saja masih memprihatinkan. Pergantian pelatih, baik di klub ataupun timnas seperti abg berganti pacar. Setahun bergulr dalam kompetisi, usai pula kepelatihan. Pelatih berpindah dan berganti klub dengan membawa beberapa pemain kepercayaan dan kesayangan. Dengan demikian bagaimana sebuah klub bisa memiliki sejarah dan tradisi permainan apalagi prestasi.
Klub profesional berkaitan dengan uang, pemain berprofesi sebagai pemain ataupun pelatih bola. Bagaimana namanya profesional kalau pemain tidak dibayar alias bayarannya mangkrak. Semangat bermain berhubungan dengan kinerja yang apik agar mendapat bayaran tinggi.
Hampir semua klub tidak memiliki pembinaan berjenjang, belum ada yang memberikan perhatian kepada pembinaan sendiri, sebagaima sepakbola modern dengan La Masia, atau klub yunior di Eropa. Apa yang dilakukan adalah saling menjegal dan membajak kalau ada pemain bagus, sedang pemain yunior itu sebatas untung-untungan. Tidak heran sulit pemain yunior bisa menggeser pemain uzur semacam BP, Gonzales, ataupun Firman Utina.
Juara bukan karena prestasi yang penuh daya juang, sepanjang liga ada, tahun ini juara esok degradasi, sekarang juru kunci besok bisa saja menjadi finalis atau peringkat atas. Juara bisa karena uang sebagaimana kentut yang sering tercium aromanya, namun sulit menemukan pelakunya. Suap dan kolusi masih sering terjadi dan korbannya PSIS dan PSS, penyelesaian sama sekali tidak jelas hingga sekarang.
Juara berkaitan dengan untung-untungan, pembinaan yang amburadul, menjadikan prestasi sebagai sasaran utama, jalan bagaimanapun dipakai, maka bukan kualitas, sebatas keberuntungan. Faktor wasit yang masih bisa “diarahkan” baru saja usai final di Jakabaring, Sriwijaya versus Arema, wasit ditolak bahkan dibentak pemain saat mengatur pagar betis. Kemampuan asisten wasit yang jauh dari up date, peraturan, dan banyak persoalan kecil-kecil namun banyak sekali. Pengurus yang ribut terus tidak berkesudahan, selalu berkelit di balik statuta FIFA, menantang pemerintah merasa bukan bawahan pemerintah, dan berbagai kelucuan lainnya.
Arisan, siapa yang pengin keluar undian bisa pesan ke pihak-pihak tertentu. Sama dengan peran uang, dalam hal ini adalah cara penentuan, uang sarananya, pelakunya adalah pengurus klub dan PSSI, korban pemain dan negara sebagai pecinta bola.
Anggaran yang berputar luar biasa besar namun prestasi nol. Peringkat FIFA selalu melorot namun selalu ngotot pembinaan berhasil.
Salam Keprihatinan...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI