Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pos, TVRI, Museum, dan Barang Langka

11 Februari 2015   20:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat fenomena akhir-akhir ini mengingatkan hukum alam di mana yang tidak memiliki daya tahan dan daya saing akan tergilas dan akhirnya hilang dari peredaran alam. Beruntunglah buaya, komodo, gajah, kalajengking yang masih bertahan hingga hari ini. Tyrex, dinosaurus, dan macam putih siliwangi, ataupun jalak Bali yang kurang beruntung.

Jangan sampai nanti anak cucu kita, hanya mengerti pos pekerjaannya mengantar surat dari satu ke kota lain, sedang surat itu apa dan seperti apa perangko tidak tahu. Akik sekarang lebih tenar daripada Kantor Pos. Kantor Pos hanya ramai saat pembagian bantuan sosial dari negara untuk segelintir anak bangsa. Pemikiran dan inovasi harus tetap dilakukan agar PT.Pos bukan menjadi barang antik dan masuk museum. Memang secara bisnis masih ada dengan kerja sama dengan berbagai pihak. Namun surat menyurat bisa terelimiir oleh keberadaan email dan sms dkk. Bisa saja negara menggunakan intervensi misalnya pendaftaran PNS harus melalui PT. POS.

TVRI, pioner pertelevisian sejak tahun ‘60an, saat ini pada kondisi hidup segan, mati tak hendak, hanya begitu-begitu saja. Perlu tangan dingin untuk membangkitkan TVRI sejajar dengan televisi swasta lainnya. TVRI seharusnya menjadi media yang paling ideal, dalam arti paling berimbang, paling obyektif karena tidak ada kepentingan, menjaga persatuan dan kesatuan dengan memberikan pendidikan baik toleransi, kewarganegaraan, ataupun kehidupan berbudaya. Kesempatan bagi sineas ataupun pelaku seni yang kurang memiliki modal kapital dan bermodal idealisme. Negara mengambil peran untuk menghidupkan dengan idealisme bukan kepentingan penguasa.

Museum, mungkin hanya mentereng namanya, namun pengunjungnya bisa dihitung jari, paling banyak anak sekolah yang “terpaksa” mampir karena program sekolah, selain itu hanya diam membisu memajang barang purbakala. Kalah dibandingkan dengan mall atau trans studio.

Apakah nantinya para generasi mendatang akan bertanya surat, Pos, TVRI, dan Museum itu hanya ada di teks-teks pelajaran mengenai masa lalu. Teknologi memang akan menggusur yang telah usur sebagaimana telegram, namun beberapa hal masih bisa dipertahankan dan dilestarikan.

Salam Damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun