Dasamuka atau Rahmana memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kerajaannya bukan kecil, namun nafsu tamak dan haus kuasa membuatnya tetap ingin melebarkan kekuasaannya. Negeri-negeri yang ingin dia miliki pasti bisa ia peroleh. Uniknya, ia menggambil bangsa-bangsa lain itu tidak dengan kekerasan, namun lebih banyak dengan tipu daya dan tindakan licik dan cerdik. Eloknya, ia melakukannya sendiri, bukan dengan utusan atau mengirim pasukan untuk menakluknya. Ia mengandalkan tipu muslihat untuk mengalahkan raja-raja bangsa lain. Termasuk di dalamnya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menyembuhkan diri sendiri dan menghidupkan kalau tewas dalam pertarungan, dari Resi Subali.
Politikus hari ini pun masih menggunakan cara Rahwana atau Dasamuka. Parpol sebagai naungan politikus biasanya demikian, jauh lebih licik dan seenaknya.
Suara Rakyat adalah Suara Uang
Ungkapan mendalam dan penuh makna yang hendak menunjukkan betapa bernilainya demokrasi maka ada yang mengatakan, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Namun kali ini sudah berubah ketika lebih banyak aroma uang dalam pemilu, baik pileg, pilpres, atau pilkadasung. Serangan fajar telah bergeser dengan mengatakan ambil uangnya jangan pilih orangnya, kemudian berganti dengan mengirimkan photo pilihan dengan menggunakan media telekomunikasi yang mulai canggih. Hari-hari ini hal itu tidak lagi perlu adanya serangan fajar, langsung-langsung saja uang diberikan dengan berbagai dalih dan cara sebagai pembenar bahwa itu adalah politik uang.
Ada sembako, kaos, bendera, atau bentuk lainnya. Bisa juga berupa jalan atau pembangunan ini itu, jangan lupa ketika mereka membeayai, mereka akan kembali meminta balasan dengan memilih, dan akhirnya tidak akan heran kalau mereka lupa akan membangun bangsa dan masyarakat, selain mengambil uang untuk mereka dan kelompoknya sendiri.
Jamak terjadi banyak tarik ulur saat pembahasan anggaran, banyaknya ide membuat proyek, adanya legeslatif mencari investor, kong kalikong dengan eksekutif dan pengusaha, tidak kaget banyak yang dicokok KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Uang lebih berkuasa daripada apapun, termasuk di sana sumpah jabatan.
Penggunaan artis atau tokoh terkenal, untuk mendulang suara
Beberapa partai mmenggunakan selibritas atau artis untuk mendulang suara. Sah-sah saja menggunakan ketenaran dan kepopuleran asal mampu bekerja dan mengerti dengan baik kerjanya. Jangan asal tenar, sedangkan berbicara mengenai tugas saja tidak tahu. Banyak artis dan tokoh polpuler yang memang melek hukum, politik, dan bernegara, namun tidak sedikit pula yang diprofesinya sendiri tidak mampu, hanya mengandalkan kepopuleran dengan hal-hal tidak semestinya.
Cara lain, menggunakan tokoh terkenal dalam pilkada/pilpres untuk dijadikan tameng, bumper, atau jualan semata. Saat tiba waktunya ditinggalkan atau hanya dijadikan pajangan dan penghias saja, ketika memerintah, karena memang tidak mampu dan tidak bisa apa-apa dalam dunia birokrasi, politik, dan tatanegara.
Diingat ketika menjelang pemilu saja
Demi rakyat, atas nama rakyat kecil, berpihak bagi yang lemah, namun ketika berkuasa, apa yang ditampilkan sebaliknya. Menekan rakyat dengan dalih rakyat, lha rakyat yang mana yang dibela? Hanya kepentingan sendiri dan kelompok lebih besar. Tidak heran hanya berebut kekuasaan, kursi, pengaruh saja yang ditampilkan. Rakyat, lima tahun sekali saja disambangi, dan pertama tadi uang yang berbicara dan mengelabui kembali.