Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pil Pahit Hari Pendidikan Nasional

4 Mei 2016   07:50 Diperbarui: 4 Mei 2016   07:55 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Duka mendalam bagi insan pendidikan nasional dalam arti harafiah, bukan semata dalam arti kiasan yang memang masih menggelayut belum usai. Soal minat baca yang amat rendah, kemampuan siswa yang maish belum beranjak, ataupun soal sertifikasi yang masih menjadi candu dan sasaran utama dengan merugikan peserta didik, dan berbagai soal yang sedang coba dipecahkan oleh pemangku kebijakan.

Pertama,pembunuhan dosen oleh mahasiswa kependidikan. Ironis hari pendidikan malah ada hadiah yang sangat pahit. Bagaimana mahasiswa calon guru membunuh gurunya, dengan dugaan alasan karena sering ditegur karena kedisplinan, soal moralitas, dan persoalan karakter. Menarik adalah, bagaimana mahasiswa keguruan namun memiliki karakter seperti ini. Tidak heran ketika menjadi guru perilakunya juga tidak jauh berbeda. Tambah miris, pelaku ini dihajar habis-habisan oleh rekan mahasiswa lain. Bagaimana kekerasan, main hakim sendiri menjadi pilihan orang terpelajar dan calon guru. Sepakat bahwa emosi dan marah, namun mengapa otot bukan otak yang dikedepankan? Apa bedana pelaku dan rekannya kalau demikian? malah lebih memalukan mereka keroyokan. Ingat bukan membela pelaku. Ada pula yang malah menyorot dosen killer,bagi saya, yang pernah sejenak menjadi pendidik, tugas utama adalah mengajarkan apa yang perlu diajarkan, termasuk kedisplinan, menjadi populer, favorit, jangan harap. Selalu saya katakan, “Kalian benci saya tidak apa-apa, namun saya harus mengatakan, mendidik, mengajarkan kalian dalam banyak hal. Tidak masalah kalian katakan, killer,crewat, banyak omong, yang penting saya menanamkan nilai-nilai kebaikan bagi kalian.” Risiko bagi pendidik yang berdedikasi dan disiplin adalah tidak disukai, dan itu bagi almarhum tentu kebanggaan (jika benar karena ketegasannya, soal alasan masih terus dicari polisi). Lebih memalukan lagi, sang dosen mau beribadah. Ada apa anak ini, sehingga tidak tahu lagi hal yang utama dan penting, karena dendam sudah tidak punya lagi hati yang jernih.

Kedua,perkosaan dan pembunuhan siswi. Anak sekolah, siswa, abg, dan generasi muda yang menjadi korban kebejatan sesamanya. Sering alasan yang dikemukakan adalah pakaian, apakah pakaian anak ini seksi? Jelas tidak, namun nafsu sesat yang sering tidak diatasi malah menyalahkan pakaian korban. Atau karena miras atau narkoba, ini juga akal-akalan bagi pelaku untuk menghindari hukuman maksimal. Orang mbuk itu tidak bisa apa-apa, paling muntah dan tidur disembarang tempat. Pelaku minum yang macam-macam bukan mabuk, namun sok mabuk. Persoalan bukan di sini, namun di mana hukum belum tegak beriri menghukum pelaku dan melindungi korban.

Ketiga, pembunuhan di kampus UGM. Lagi-lagi, mahasiswi, di kampus lagi tempat diketemukannya jenazah. Ironis bahwa tempat pendidikan yang harusnya menjadi tempat mengembangkan ilmu, pengetahuan, dan alam pikir, malah menjadi tempat menyembunyikan jenazah.

Apa yang bisa kita pelajarari?

Pertama,dunia pendidikan selama ini telah abai dan menjadi alat kekuasaan dengan berbagai pertimbangan, proyek, anggaran bangunan, kurikulum, dna banyak lagi. Tidak heran apa yang seharusnya malah lepas dan tidak dikelola dengan baik. Selain ekonomi, sekolah menjadi seperti sumber uang juga politik dengan tekanan dari kepala daerah soal kelulusan, juga telah hinggap di sekolah.

Kedua, pendidikan karakter masih jauh dari harapan. Soal kurikulum semata, dan anak malah jenuh dengan berbagai materi yang begitu banyak, soal pengetahuan otak semata, namun hati lepas. Hal ini sering dijumpai, semerter dua di kelas akhir setiap jenjang, pelajaran hanya yang di-UN-Kan, dulu, pelajaran lain, yang menyingkir dulu. Pendidikan agama, olahraga (SMP), PKN, dan sejenisnya memberikan jalan untuk mapel UN dengan mau tidak mau.

Ketiga,nilai adalah tujuan akhir, 90, sedangkan soal pengahyatan nol tidak masalah, bagaimana anak berdoa belepotan namun nilai agama harus 80, atau anak yang nakalnya minta ampun namun demi nama baik sekolah, dinas, kepala daerah harus lulus (baru tahun-tahun ini hal ini menurun), dulu adalah maha kuasa. Kelulusan itu politis.

Keempat, dengan segala hormat, sekolah tinggi, universitas banyak yang memanfaatkan booming soal sertifikasi guru, sehingga peminat jurusan keguruan sangat banyak. Akhirnya anak antah barantah saja bisa masuk ke jurusan ini, padahal menjadi guru tuntutan sangat tinggi, apalagi berkaitan dengan emosional.

Kelima, kekerasan terhadap perempuan, menjadi persoalan yang akan berulang ketika belum diselesaikan dengan jujur dan tuntas. Soal nafsu itu ada di bawah otak laki-laki, jangan salahkan pakaian perempuan. Jika hal ini telah berani diakui, tentu bisa diurai pelan-pelan. Benar bahwa pakaian membuat godaan, namun nyatanya berhijab pun dilecehkan, salah di pelaku atau korban. Selama ini seperti membela korban namun malah melecehkan korban.

Keenam, mendesak adanya pendidikan seksualitas anak. Sehingga bukan belajar dari internet yang belum tentu benar. Pro dan kontra akan terjadi, namun perlu adanya keberanian menerobos hal ini, darurat dalam ranah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun