Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

“Perlawanan “ Sinetron Anak Jalanan, Kekuatan Kapital

6 Maret 2016   06:32 Diperbarui: 6 Maret 2016   07:39 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa protes dan keberatan tayangan sinetron Anak Jalanan betebaran, mulai dari petisi, laporan ke KPI, dan beberapa artikel di sini. Paling tidak, saya menulis satu artikel, rekan K-ners lain yang saya ingat menulis soal perilaku pemain dan kru yang arogan dan menggunakan tempat ibadah untuk make up. Kedua, rekan dari luar negeri yang kaget saat ada adegan balap liar, sedang polisi mengupayakan lenyapnya balap liar, dan beberapa lagi. Meskipun juga ada pembelaan, baik artikel ataupun nada dalam kemontar.

SP dari KPI juga tidak mengurangi kegarangan cerita mereka. Atas pelaporan mengenai kekerasan dan adegan ciuman, sinetron ini telah mendapatkan teguran yang kelihatannya tidak berpengaruh. Pelaporan saya soal adanya salah satu kisah aborsi dengan menggunakan nanas muda, oleh KPI jelas dijawab normatif.

Apa yang ditampilkan, baik cara tayang ataupun secara langsung dalam dialog antarpemain hendak menyatakan bahwa mereka itu benar dan tidak ada kesalahan, justru penonton (pengkritik yang salah). Indikasi tersebut bisa dilihat sebagai berikut:

Pertama, jam tayang yang lebih panjang dari pada dulu. Kini pada kisaran dua hingga tiga jam tayang dan waktu jam belajar anak. Sinetron ini jelas menyasar remaja dengan setting anak sekolah menengah, cerita seputar percintaan remaja, jelas mereka memang membidik remaja dan dewasa awal. Tentu jam tayang dan cerita demikian sangat tidak memberi keteladanan dan mendidik. Sikap yang ditampilkan oleh pengelola, bagi saya adalah kalian menggongong, kami tetap tayang, memang kalian siapa? Durasi yang jauh lebih panjang bisa saya terjemahkan KPI mana berani dengan kami, nih saya tambahin biar kalian tahu.

Kedua, dialog, paling tidak dua kali diulang. Para pemain sok mengkritik pemain, dan oleh sesepuh di sana dikuliahi, kalau mau menilai jangan sepotong lihat utuh. Kesempatan lain, dijawab jangan seenaknya menilai, kejahatan pasti ada namun ada juga yang baik. Dari sini saya menilai mereka tidak mau dikritik karena mereka sudah benar dan mengajak melototin mereka saja. Sepakat bahwa namanya drama adalah keburukan dan berhadapan dengan kebaikan, namun bagaimana prosentase antara kejahatan dan kebaikan. Apa yang mau diajarkan ketika lebih banyak tayangan buruk, jahat, dan culas dari pada nilai-nilai positif yang ditampilkan.

Menjawab kritikan dengan kelucuan lebih jauh ditampilkan dengan justru tokoh utama ini bak malaikat. Orang tuanya pun meminta nasihat, diberi ceramah oleh anaknya dan manggut-manggut. Gurunya pun demikian. Apalagi teman-temannya. Semua kebaikan nilai positif namun dikemas hanya tempelan dengan adegan ibadah, mengundang tokoh agama, namun secara keseluruhan masih saja keculasan, perebutan, bersepakat jahat, dan menipu sebagai jalan keluar. Boleh kenakalan remaja, namun bukan menjadi tema sentral dan diulang-ulang dalam setiap acaranya.

Secara tidak langsung, pengaruh buruk telah kita saksikan. Anak usia 9 dan 7 tahun ditilang polisi dan menangis meraung-raung. Kisah di media, kisah nyata, anak usai 13 tahun memboncengkan teman perempuan dengan motor pinjaman menabrak motor hingga mematahkan tulang bahu seorang ibu. Bagaimana hendak mengurangi pemotor cilik ketika tayangannya menonjolkan pemotor yang gagah perkasa begitu?

Ada anak SD pacaran dan lha itu diniai wajar karena tayangannya juga begitu kog, bimbel, kelas, atau belajar pun juga begitu, hanya tempelan untuk kisah pacarannya. Bagaimana susah payah mendidik di sekolah dan keluarga untuk bisa bertanggung jawab sedangkan tayangan masih saja begitu menyajikan sikap abai akan pendidikan.

Belum lagi soal penggunaan hp. Menteri mau melarang, sedangkan orang tua menilai sebagai kepetingan mendesak, apakah benar, masih bisa dilihat lagi kog. Tayanganya semua main hape, entah beli pulsa dari mana, bahkan di kelas dan sekolahpun demikian. Apakah anak-anak kita sudah sedewasa bagi para pemodal dan penulis itu, sehingga menyatakan mereka baik-baik saja dan perlu melihat dengan lebih baik.

Pendidikan itu bukan hanya kegiatan belajar mengajar yang terbatas waktu itu, namun membutuhkan keteladanan. Sikap yang pantas dicontoh baik dari pejabat, orang yang dewasa masih jauh, eh hiburan dan televisi pun menyajikan yang memprihatinkan. Mau di bawa ke mana anak-anak negeri ini kalau terus demikian?

 

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun