Sikap toleran atau tidak, bukan bergantung pada pendidikan atau jenjang akademik seseorang. Bisa saja orang bergelar berderet-deret, namun sangat rasis dan bersikap intoleran. Tidak pandang bulu baik kaya atau prasejahtera. Apalagi pendidikan yang masih berkutat dengan tarik-menarik kepentingan, baik politik, agama, atau kepentingan lainnya. Susah mengharapkan dunia pendidikan, baik dasar, menengah, dan tinggi untuk memberikan harapan baik bagi karakter dan sikap batin toleran.
Contoh kasus yang dialami tetangga
Kasus pertama, seorang rekan seusia, dulu kalau diminta bantuan tetangga mengundang hajatan, apa pun bentuknya, dapat dipastikan bapak almarhum tidak akan diundang dan datang ke rumah untuk menunaikan tugasnya. Suatu saat menjadi TKI di Malaysia, usai dari sana, malah menomorsatukan bapak, bahkan kalau mengundang sempat basa-basi. Pergaulan menjadi cair dan berubah, selalu undangan lisan itu sampai.
Kisah kedua, banyak rekan saya termasuk yang di atas atau di bawah saya, kalau ada anjing masuk desa saya pasti akan mengejar-ngejar dan melemparinya dengan batu. Suatu hari mereka mengerjakan proyek infrastruktur di daerah yang bagi mereka pasti tidak akan ada anjing karena pengenalan mereka akan agama yang kuat di sana. Ternyata sebaliknya, anjing menjadi andalan dan ada pelatihan untuk berburu terutama babi hutan yang menjadi hama bagi penduduk daerah tersebut.
Belajar dari kisah tadi, beberapa hal patut disimak
Satu, perjumpaan dengan yang lain sangat membantu. Biasanya orang yang intoleran, pemikiran sempit itu tidak membuka diri akan yang lain. Ini bukan soal punya teman atau pergi ke mana-mana, namun kemauan untuk melihat apa yang berbeda di sekitar kita. Bangsa ini patut bersyukur karena memiliki keragaman yang luar biasa, namun kalau sudah mengenakan kaca mata kuda, tetap saja melihat yang lain dengan kaca mata sendiri. Akibatnya adalah pemaksaan kehendak, merasa diri paling benar, berbeda adalah salah dan dosa.
Dua, mau belajar yang berbeda. Bagi saya, belajar apa pun adalah baik. Jika ada kepercayaan kalau mempelajari agama lain sama dengan pindah agama, apakah demikian adanya? Jika iya, tentu berbeda konteks pemahaman, namun menurut hemat saya, tidak demikian, agama itu bukan soal pengetahuan semata, yaitu belajar, namun hati dan sikap batin, di mana mempelajarinya, menghayatinya, dan menghidupinya. Jika belajar saja tidak akan mengubah sama sekali iman dan kepercayaan.
Tiga, jika mau melihat yang lain, sebenarnya sangat membantu bisa menguatkan apa yang telah dipilih itu benar-benar milik pribadi, bukan kata orang tua, guru, atau pemimpin agama. Keyakinan karena kebenaran dan keyakinan yang bisa dihidupi bukan semata pengetahuan kognitif semata.
Empat, belajar dengan motivasi bukan untuk mencari-cari kesalahan dan kemudian mencela atau mencerca, namun meyakinkan diri bahwa pilihannya adalah yang terbaik. Jika motivasinya mau mencerca lebih baik tidak usah. Hal ini sering saya pribadi temui dalam media internet baik blog pribadi, media berbagi seperti YouTube.
Lima, dunia pendidikan makin ke sini makin susah diharapkan mengajarkan nilai-nilai toleransi, bukan hanya soal agama namun juga yang lain. Sikap abai dan tidak menganggap serius persoalan ini merambah makin kuat di dalam dunia pendidikan. Contoh paling jelas adalah diskriminasi untuk anak yang kurang pintar. Lihat saja bagaimana sikap guru dan tenaga kependidikan secara umum. Hal ini sangat menyakitkan bagi yang tidak mendapatkan perhatian.
Toleransi itu perlu ditanamkan. Salah satu cara yang terbaik adalah dengan keteladanan dari sel masyarakat terkecil, yaitu rumah. Keluarga menjadi pilar utama dan penting, ketika mendidik anak dan generasi muda dibina penuh kasih sayang, melihat kekurangan dan kelebihan secara obyektif dan proporsional, tidak membebani anak dengan tuntutan yang tidak mampu bagi anak.