Dua nama yang paling menjadi buah bibir di saat pemilukada. Pas di Surabaya Risma tidak ada lawan, lawan kalah sebe,um bertanding, kalau anak sekolah mungkin sudah sakit perut sebelum ujian, para rivalnya. Satu lagi nama yang mirip-mirip pas di Jakarta Ahok ini tidak ada lawan yang sepadan, namun hasrat parpol ataupun ormas berlomba-lomba mencoba menggagalkan, tetap saja hingga detik ini belum ada yang muncul untuk melawannya. Kalau abgnantang-nantang tapi gak pernah datang.
Ada beberapa hal menarik mengenai keduanya. Baik yang mendukung Bu Risma ataupun Pak Ahok gak perlu sensi berlebihan apalagi menghujat, santai saja buat humor di saat panas antara anti atau pro siapapun itu.
Perbedaan pertama,jelas saja semua orang tahu, tidak perlu ahli politik, atau ahli moral, Pak Ahok laki-laki, dan Bu Risma perempuan. Tentu tidak ada yang mau dan bisa mendebat, kecuali sudah saking stres akut masih mempersoalkan. Mereka berdua berbeda.
Perbedaan kedua,ini juga berbeda, bagaimana Pak Ahok itu gubernur dan Bu Risma walikota, berbeda bukan? Hal ini pun bagi pendukung ataupun anti masing-masing tidak bisa menyangkalnya, kecuali stres akut.
Perbedaan ketiga,Ahokpernah jadi wakil gubernur, wakil rakyat juga, Risma sama sekali belum pernah jadi wakil di jabatan strategis itu. Risma orang birokrasi tulen.
Perbedaan keempat, Ahok ditolak parpol, ini ada tujuh koalisi parpol pemilik kursi di DKI, mereka berupaya bersatu yang penting bukan Ahok. Berbeda dengan Risma, potensi disuka oleh ketujuh parpol jelas lebih besar. Tidak heran mereka yang selama ini anti A anti B bisa tiba-tiba paling lantang mendukung dan justru paling keras menarik Risma.
Perbedaan kelima,Ahok dikeroyok, kembali buktinya adalah koalisi bintang tujuh ini, mereka pasti tidak akan mengakui seperti bahasa mengeroyok, tapi dengan model lainnya yang tetap saja intinya begitu. Berbeda dengan Risma, justru parpol melarikan diri dan Risma tidak ada calon. Surabaya waktu itu sampai bingung, KPU pusing karena tiadanya calon, bisa-bisa pilkada tidak berlangusng. Pendaftaran diulang, mendaftar tinggal dicatat, si calon ngacir melarikan diri, entah dagelan macem apa politikus dan parpol Indonesia ini.
Perbedaan keenam,Ahok ditolak dengan keras oleh faksi-faksi di elit PDI-P, Risma ditarik-tarik faksi-faksi elit di tubuh PDI-P. Belum pernah sepanjang saya ingat selucu dan sesengit ini pilkada itu, lainnya biasa saja kog.
Perbedaan ketujuh,Ahok ngebet jadi calon gubernur, tidak heran ia punya relawan TA dan didukung tiga parpol, Risma malah enggan dijadikan calon.
Perbedaan kedelapan,Ahok menantikan jawaban “YA” dari PDI-P, Risma hendak menyatakan “TIDAK” ke PDI-P.
Dengan fenomena yang ada, kekhawatiran Risma hancur lebur di Surabaya dan Jakarta, bisa saja keduanya disatukan. PDI-P tidak perlu susah-susah dan semua senang. Kampanye gratis selama ini bisa menjadi iklan gratis tanpa dipantau pelanggaran oleh Panwaslu.