Dunia pendidikan kembali diguncang oleh persoalan kekerasan. Kali ini orangtua dan anak murid yang menghajar guru. Ironisnya si bapak itu juga muridnya. Anak dan cucu menghajar sang kakek. Kisah yang tidak lagi baru dan hanya satu-satunya.
Belum lama dan belum reda beberapa waku lampau dunia pendidikan juga ramai soal yang mirip. Seorang guru yang disidang karena mencubit muridnya. Hingga kasus ke pengadilan untuk urusan yang bisa diselesaikan dengan pembicaraan sebenarnya.
Di antara itu ada ide luar biasa gegap gempita mengenai sekolah sepanjang hari yang demikian panas menjadi bahan kajian, analisis, dan pembicaraan yang berkelanjutan hingga kini pun belum usai juga.
Apa yang menjadi keprihatinan di sekolah itu beribu-ribu kasus kalau berbicara kasus, selain sistem yang tidak jelas mau apa dengan pendidikan kita. Soal penilaian yang tidak pernah usai, bagaimana 17.000 pulau yang demikian luas, panjang kali lebar ini tentu memiliki berbagai ragam kualitas dan taraf pendidikan, apakah bisa disatukan dalam sebuah program dan sistem yang begitu saja didrop dari atas? Bukan hendak merendahkan kualitas njomplangnyapendidikan, namun tidak bisa satu program seragam seluruh Indonesia.
Kualitas guru. Persoalan sepertinya selesai dengan sarjanisasi beberapa tahun lalu. Baik bisa diterima dan disepakati, bahwa sarjana strata satu bisa diandaikan mumpuni untuk mengajar. Namun apakah benar demikian?
Sertifikasi guru. Dulu, sering lagi yang didendangkan itu soal gaji kecil, guru tidak sejahtera, dan akhirnya mempengaruhi kualitas pendidikan. Apakah ini sudah merupakan kajian mendalam atau hanya klaim dan asumsi semata?Â
Apakah birokrat sudah tahu dengan baik bagaimana kejadian yang sesungguhnya di sana, rebutan jam mengajar, meninggalkan kewajiban demi mendapatkan sertifikat, tidak ada perubahan kualitas mengajar selain gaya hidup yang berbalik, dan remeh temeh yang tidak pernah terpikirkan ketika membuat program itu.
Permasalahan kurikulum yang tidak aplikatif dan menyentuh esensi pendidikan dan mengubah jiwa peserta didik, selain mengakomodasi soal kemampuan. Menjejali anak didik dengan hal yang tidak esensial. Ganti berganti kurikulum namun masih sama saja, karena tidak adanya evaluasi dan sosialisasi, selain soal proyek dan ganti menteri ganti buku.
Kekerasan demi kekerasan pendidikan, bagian utuh atas kekerasan bangsa ini.
Ada sebuah keyakinan yang mengatakan kalau mau melihat kualitas sebuah bangsa lihat saja jalan raya. Kita tentu paham bagaimana jalan raya itu adalah diri kita, umpatan, saling serobot, tanpa aturan, dan lengkap soal ketidakapun di sana.Â
Padahal anak sekolah juga mengawali kegiatan di sana, di jalan raya. Kita bisa membayangkan bagaimana anak-anak ini dominan sudah mengawali harinya harus dengan omelan untuk membangunkan mereka mengawali hari. Sikap tanggung jawab baik dari orangtua dan anak yang lemah.