Mengherankan membaca reaksi terdakwa Obor Rakyat yang menyatakan presiden harus dihadirkan ke pengadilan untuk mendengarkan apakah Pak Jokowi merasa terhina. Ini bukan satu-satunya, ketika kita menarik ke belakang, bagaimana para maling berdasi itu menyatakan yang identik. SDA, mana ada uang negara yang saya rugikan, wong cuma pinjam, saya menerima rezeki dari Allah, mosok harus saya tolak, ala Fuad Amin yang maling dari pengusaha di Bangkalan. Model-model yang sama.
Tidak bersalah, merasa dizolimi (menggunakan istilah keagamaan), ada konspirasi.
Ha...ha...dagelan ala maling yang terpojok, menangis meraung-raung bahwa merasa tidak bersalah, ketika ada bukti, akan mengatakan hanya pinjam, apes, khilaf, dan model ngeles yang sejenis. Ini bukan hanya satu dua kasus, ribuan kasus, mulai anak sekolah dasar hingga puncak pemerintahan seperti Akil Muchtar. Merasa dizolimi pihak lain, ada konspirasi yang mau menjatuhkannya ala Anas, bos PKS, Â merasa dikorbankan, model Nazar, Jero W, dan banyak lagi. Terbaru, Dewi Yasin Limpo juga merasa tidak bersalah bagi-bagi proyek di Papua. Tangkap tangan saja masih dinilai apes atau bernasib sial model M Sanusi. Ada salah satu anggota penthung yang ditangkap polisi sedang menenteng pedang, ia bersujud meraung-raung menangis mohon ampun, apa bedanya dengan anak kecil yang pulang terlambat karena asyik main layangan? Sama sekali tidak ada pernyataan maaf, ampun, merasa bersalah, dan mohon hukuman yang setimpal untuk memperbaiki diri. Apalagi bunuh diri dan mundur seperti Asia Timur sana. Ini malah merasa seperti tahanan politik yang senyam senyum, melambaikan tangan, dan mengadakan wawancara seperti orang berprestasi.
Membangun Opini Publik Menjadi Korban.Sekarang bisa dibalik, apakah hal itu menyakiti, seperti dalih Obor Rakyat itu, harus jujur jangan asal mengatakan untuk meringankan, saya tidak tersinggung kog, ah yang bener? Atau memang sudah mati hati nurani. Soal maaf dan ampunan bukan berarti boleh lepas dari pidana. Cara membalik ketika temannya lari sudah biasa, pas banyak teman seperti orang yang paling hebat, kebal parang, dan kebal hukum, begitu ditinggal temannya, meraung-raung dan minta perlindungan yang pernah menjadi sasaran seenak udelnya. Ingat apa yang dipakai Setnov juga.
Sikap Tidak Bertanggung Jawab.Sikap tanggung jawab sangat lemah. Mengapa demikian? Karena pemahaman sempit asal temanku, lembagaku pasti benar dan pihak lain salah sikap kritis yang tidak dibangun membuat orang seenaknya sendiri berbuat. Sikap abai asal bukan aku juga berperan untuk seenaknya sendiri. Parpol mengajari dengan jelas, maling di partai A, menjadi pahlawan di parpol X, beberapa cagub/ cabup dan cawakot merupakan pecatan dari parpol lain karena maling masih juga dijadikan jagoan di partai lain. Miris alasannya, usai di penjara sudah sebagai hukuman. Iya kalau berubah sih tidak apa-apa, lha di penjarapun masih maling kog, banyak contoh yang bisa dideret di sini hingga ribuan lembar.
Malu itu tidak ada, namun berani dan tidak berani.Sikap malu dan berani yang tidak sesuai dengan kondisi. Lihat harusnya malu untuk melanggar, bukan soal berani atau tidak. Kalau orang tidak berani ditantang dan berani itu hebat, maling,melanggar, dan kaya bukan dari hasil  jerih lelah pun tidak malu-malu dimiliki. Pendidikan untuk menanamkan sikap malu berbuat salah itu menjadi penting. Berani dan malu sesuai dengan kepentingannya, tentu perlu diterapkan dengan baik.
Hukum yang masih bisa dibeli.Uang masih bisa membeli suara, membeli hukum, bahkan membeli kemaluan. Uang yang digelontorkan bisa menutup kasus. Susah kalau hal ini masih dibiarkan terus menerus. Soal moral pun bisa diputarbalikkan sesuai kepentingan sendiri. Menulis dengan dasar yang dibalik-balikpun bukan lagi mmenjadi pertimbangan.
Apa yang harus dibuat? Â Satu, Pendidikan yang menerapkan kejujuran dan malu berbuat curang. Ini menjadi dasar banyak hal. Dua,penerapan hukum yang tidak pandang bulu dan tegas. Tiga,efek jera hukuman itu ada indikasi yang jelas terukur, bukan asal x bukan y tahun begitu saja. Empat,hukuman sosial yaitu tidak membela pelaku kejahatan dengan alasan apapun. Ingat di sini apapun bisa terjadi kog, bedakan perilaku dengan pribadi. Yang kita hukum, benci, dan kutuk itu perbuatannya bukan orangnya. Kelima,latihan bertanggung jawab atas perbuatan. Hal ini mendesak karena persoalan bangsa makin banyak bukan karena tidak adanya hukum perundangan, namun sikap dan pilihan rakyatnya yang membela kepentingan. Benar atau salah tidak menjadi pertimbangan asal seide dan segagasan, itu pasti benar dan kalau di luar itu pasti salah.
Apakah kebenaran kita selalu berkaitan dengan kepentingan? Jika iya, jangan harap akan ada sikap bertanggung jawab, kambing hitam makin laris dan menjadi sasaran empuk. Hati-hati daging kambing itu membuat darah tinggi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H