Pra pileg, pilpresm dan post keduanya, makin terpisahkan dengan jelas kutubnya, ada pecinta, pembenci, dan penjilat bagi pemerintah.
Pecinta.
Berbagai versi, ada yang cinta buta, hingga apapun baik adanya meskipun ada noda, tidak lagi peduli. Pokoknya benar, tidak heran ada yang melabelinya dengan nabi. Tidak banyak memang, namun wajarlah namanya juga pecinta. Lihat saja pecinta model almarhum Gombloh yang menyatakan tai saja rasa coklat kan?
Proporsi dalam membela diperlukan agar bisa tetap berjalan di jalan yang benar. Berbahaya karena bisa melambungkan angan yang membuat keadaan tidak nyata. Kelompok sebelah makin akut dan kuat dalam merendahkan dengan hadirnya kelompok ini.
Ada pula pecinta yang realistis berani menyatakan kebenaran sekiranya memang tidak patut dilakukan. Kelompok ini yang mengawal dengan baik, kritik membangun, dan kritis dengan kebijakan yang tidak seharusnya diambil. Banyak pihak yang ada di sini, dari akademisi, politikus, hingga orang biasa. Perlu lebih banyak anggota di sini daripada kelompok yang di atas tersebut. Mencintai bukan berarti tidak melihat kesalahan yang ada atau membenarkan apapun yang dilakukan yang dicintai.
Sejatinya tidak banyak, hanya saja karena energi yang ada itu sangat besar, maka mereka terdengar nyaring dan selalu saja menelorkan kritik yang lebih mengarah ke hujatan. Ada artis, dosen, politikus, hingga orang biasa. Hanya karena jas, cara berjalan, hingga kebijakan untuk negara bisa menjadi bahasan tidak ada habis-habis. Soal kuliahnya dipersoalakan, apa kampusnya juga mau kalau bukan alumni kemudian mengklaim lulusan sana, mentang-mentang presiden kemudian bangga? Mosok kampus mikirnya begitu?
Pada dasarnya benci itu boleh, sah, dan tidak melanggar hukum, apalagi kalau sakit hati parah lagi kalau patah hati, wajar, asal tidak ajak-ajak orang lain. Kebencian yang diumbar da dipelihara dengan berbagai argumen dan dalih hanya demi memenuhi hasrat melampiaskan kekecewaan. Energi besar ini sebenarnya bisa dipakai dengan baik, mengubah energinya untuk hal-hal yang positif.
Coba saja, berapa waktu, tenaga, mungkin uang juga untuk ngulik sehingga ada bahan untuk mencela. Mencela bukan mengkritik, karena tidak ada unsur membangunnya. Tidak ada bantuan solutif yang dikatakan, selain mengatasnamakan masyarakat, kepentingan umum, dan sejenisnya.
Repotnya lagi juga menyerang orang yang dianggap pecintanya, padahal itu versi pembenci sendiri yang mengenakan kacamata hitam. Semua diukurkan dengan pandangannya sendiri yang memang hitam. Selalu negatif.