Parpol dan Calo Bus, Sampah di Hari Bumi
Saat konferensi parpol tingkat Asia, mantan anggota PKS, Fahri Hamzah menyatakan deparpolisasi tidak patut diterapkan. Apa yang diungkapkan bisa saja tidak berlaku di Asia, kalau Indonesia bisa saja sangat bahkan mendesak dengan kata lain sangat pantas. Kondisi yang tidak bisa disamakan. Berbeda pandangan partai lain yang menyoroti soal UKM, atau kolonialisme dan imperialisme gaya baru. Bisa dikatakan memang tidak tepat pandangannya bisa saja saking pusingnya cari kuda baru, apalagi Demokrat belum mau terima.
Parpol, berlaku sangat mirip dengan calo bus kota. Bagaimana mereka mencari uang dari pihak yang bekerja keras, penumpang datang ke halte bukan mereka mencari penumpang, namun mereka meminta upeti, kalau tidak diberi akan memukul bodi bus, dan bisa dipastikan nantinya sang kru akan dipukul ganti. Tidak ada bentu kepedulian sama sekali mau penumpangnya kesulitan, bus penuh, yanag penting penumpang naik dan mana peduli tidak bisa menginjak lantai bus sekalipun. Yang penting upeti masuk. Berlaku dua tuan dengan menjadi “mata-mata” dua pihak yang menguntungkan mereka. Mengatakan yang tidak semestinya kalau ada yang bertanya soal jarak antarbus.
Apa yang dilakukan parpol sama persis. Mana mereka pernah menciptakan dinamika yang membuahkan kader terbaik, mereka asal comot, syukur kalau ada mahar yang tidak ada bedanya dengan upeti. Mereka tidak bekerja keras, bagaimana mereka hanya mengandalkan yang datang atau comot sana comot sini. Nah apa bedanya dengan calo bus? Mereka juga seolah tidak tahu bahwa mereka bertanggung jawab kalau ada usungan mereka menjadi bandit. Maling dana masyarakat hanya untuk diri dan keluarga, paling-paling pecat dan tidak pernah merasa terlibat. Atau tidak memimpin dengan baik juga diam saja, bahkan akan dibela mati-matian.
Parpol, sampah, dan Hari Bumi. Sampah yang dihasilkan parpol mungkin sebanyak singkatan yang diciptakan ABG. Bagaimana bendera demi bendera tercipta oleh mereka dan dari mereka. Roda kaderisasi yang lemah, dan cara instan yang dipakai membuat sampah bertebaran di mana-mana. Pengalaman di sekitar tempat tinggal di Salatiga dan Kabupaten Semarang, sampah wajah parpol sangat merusak pemandangan. Pertama, gunung yang biru indah terkotori oleh baliho calon walikota, yang tidak jelas siapa mereka dan mau apa dengan itu. Kalau diatur dengan baik dan indah akan bisa membantu mata untuk menikmati, lha ini hanya asal tempat strategis dipasangi photo narsis mereka. Asal lebih besar dari calon “rivalnya”. Kedua, kunjungan presiden ke enam kemarin, sekian lama bendera yang menyemarakkan itu masih juga berkibar. Kalau baik, rapi, dan bersih keren lha ini, dekil, sudah tidak karuan miring ke mana-mana, tiangnya dari bambu jelas saja yang sudah ada yang patah atau bahkan roboh. Bendera telah dekil, bahkan sobek di sana-sini, eh dibiarkan begitu saja. Demikian juga munas atau acara apa Gerindra, PDI-P, PKS, dan lainnya. Ketiga, boleh-boleh saja demi semaraknya munas, raker, atau kunker, namun mbok yao diatur dengan baik, indah, rapi, dan kalau sudah selesai bisa diambil algi disimpan dan bisa dipakai lagi, bukan dibiarkan hancur karena alam. Jika ada yang mengambil nanti akan dikatakan merusak properti partai. Keempat, kalau satu lembar bendera tidak sampai sepuluh ribu rupiah namun kalau itu ribuan? Berapa coba dana yang dipakai, dan dibiarkan merusak pemandangan dan menjadi sampah demikian. Kelima, katanya parpol itu kurang dana kalau buat bendera bisa demikian banyak dan ujung-ujungnya mengotori kota, coba jika dipakai untuk membantu fakir miskin, untuk membeli baju bagi anak jalanan, atau sejenisnya. Keenam, rapat di Jakarta atau di Ambon, di kota yang jauh dari sana pun mengibarkan bendera namun tanpa ada keterangan, misalnya menyemarakkan raker atau apa, kan jelas dan bisa paham. Orang yang membaca baru tahu mengapa ada begitu banyak bendera dan baliho, namun selama ini tidak ada, parahnya asal pasang dan sama sekali tidak dipedulikan lagi kala usai perayaan.
Parpol selain produknya yang tidak jelas dan juga sampah yang tidak bisa diolah lagi seperti kader maling, kader narsis, atau kader yang tidak bisa bekerja, eh masih juga menghasilkan sampah dalam arti sebenarnya. Ini benar-benar sampah yang sangat mengotori, juga bisa membahayakan pengguna jalan.
Sikap bertanggung jawab yang sangat kecil dan sepele saja mereka tidak tahu, apalagi yang lebih besar dan mendasar seperti amanat jabatan? Parpol itu bunuh diri bukan deparpolisasi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H