Episode Lanjutan Papa Minta Saham, dan Mama yang Punya Kursi, kelihatannya masih akan ada episode lanjutannya. Drama yang tidak akan ada tamatnya bagi politikus Indonesia.
Babak baru politikus yang memang sejatinya bandit demokrasi masih akan panjang dan belum akan mereda. Kisruh di Golkar dan P3, diiukti isu makin panas dan santer di elit PKS, serta banyak maunya PAN anak baru yang mau banyak, menambah panasnya politik yang belum bisa membuat kondisi lebih kondusif. Pemerintah telah bekerja, malah pernah bongkar pasang menteri segala. Kubu kura-kura hijau ini memang belum bisa diajak kerja. Bisa dianalogikan bapaknya mau kerja cepet, ibunya malah lelet dan banyak mikir riasan, pakaian yang mau dipakai dan tetek bengek yang tidak urgen di tengah berbagai masalah pelik. (Ini bukan soal bias gender dan meremehkan jenis kelamin tertentu, hanya konteks yang bisa mewakili dengan lebih baik adalah ini). Ah, biar adil, mama mau kerja cepat, eh papa malah sibuk milih dasi serasi dengan baju atau jas ini atau gak, rambut mau belah samping, belah kiri, kanan, atau tengah, dan ribet yang gak bermutu.
Papa minta saham yang mengemuka di akhir tahun belum ada kejelasan, selain saling sengkarut yang hadir dengan berbagai-bagai wacana dan lapor melapor, tuduh menuduh, dan sejenisnya. Turun kasta pimpinan yang belum memberikan perubahan berarti, masalah utama belum tersentuh apalagi terselesaikan.
Gak ada makan siang gratis
Disusul PKS yang mulai merapat dan menyatakan sowan politik. Kalau politikus sowan artinya mau minta makan, kasarannya begitu. Cara PaN dinilai ampuh oleh PKS, dan dengan suka ria didatangilah istana. Kemudian menteri hukum dan HAM, memainkan SK Golkar dan P3, P3 memang sejak ketum masuk penjara telah separo memilih mendukung pemerintah, sedang Golkar langsung pula dengan sedikit malu-malu memutar haluan dan mau mendukung pemerintah.
PAN, menarik anak baru ini pada pilpres telah dengan gagah perkasa berseberangan dan sang ketum menjadi cawapres, dengan lengsernya ketum berbalik arah dan mendukung sepenuhnya “rivalnya.” Selalu pengulangan yang itu-itu saja sebagai pembenar akan tidak adanya ideologis, dalam politik tidak ada teman atau lawan abadi. Pembenar akan kemalasan untuk berbenah dan membangun ideologi. Kadernya menyatakan (sebagai sebuah trik menekan pemerintah), mereka telah mendapatkan dua kursi menteri, menteri perhubungan dan kehutanan. Satu profesional dan apakah mereka akan mampu mengatasi sebagaimana kinerja Pak Jonan? Dan satunya “rival” dari parpol lain. Aneh bin ajaibnya koleganya sendiri membantah itu, mainkan trik lain, seolah bukan permintaan partai hanya orang per orang. Namun sang big bos balik layar malah meledek presiden sebagai lemah bukan soal pergantiannya. Orang mau minta kog malah meledek yang punya, sama juga maaf pengemis yang meminta-minta malah mengatakan yang memberi sebagai jelek.
Implikasi banyaknya yang mau dapat jatah makan ini, tentu mahal bagi pemerintah. Siapa yang parpol mau kursinya diberikan kepada “rivalnya?” tentu enggan, meskipun mengatakan mendukung bukan untuk kursi tentunya sewot juga. Jika profesional yang diambil, malah makin berat tanggungan pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keadaan yang ada. Janji untuk menteri profesional yang akan mengecil.
Kebiasaan tidak mau kalah dan maunya menang sendiri menjadi ciri kanak-kanak. Bagaimana jelas-jelas kalah dalam dua putaran pileg dan pilpres, masih mau enaknya kekuasaan. Dengan demikian, enak saja suatu hari nanti kalah pun mau memerintah. Sikap berani kalah dan mampu menang perlu dibina dan dipupuk.
Satu hal yang tepat, semua ketum parpol yang minta itu laki-laki, pas dengan istilah papa minta kursi. Dan yang “punya” kursi itu mama ketum.
Mama punya kursi...