Pak Beye setelah pensiun menampilkan perilaku yang pantas dilihat, bagaimana beliau berkomunikasi dan berinteraksi. Komunikasi yang digunakan dan dijalin dengan menggunakan media sosial. Saat ramai-ramainya mengenai pembersihan istana beberapa waktu lalu, beliau diam dan sekali kelihatan mengunjungi Presiden Jokowi di istana. Secara kenengaraan dan bernegara tidka banyak aktivitas beliau.
Politikus tidak akan pernah jauh dan meninggalkan gelanggang dan media yang bisa menggerakan roda politiknya. Media digunakan untuk menyiarkan aktivitasnya yang bisa mendekatkan dengan konstituen dan pendukungnya. Mengadakan reunian dan jalan-jalan. Presiden ketiga ini memang unik, baru ada reuni kabinet. Jalan-jalan dan reunian di Magelang tentu membuat media kembali meliput meskipun tidak lagi memiliki porsi yang cukup kuat untuk membangun citra diri berkaitan dengan perpolitikan nasional yang memiliki banyak celah dan berita yang hangat hingga panas yang tengah terjadi hari-hari ini.
Ada pula politikus lain yang hendak mencoba mencari celah untuk mengekspresikan diri. Kalau Pak Beye memang sudah sampai puncak dan saat ini waktunya sedang turun, tokoh ini sedang mencoba mengais-ngais cara naik. Selepas gagal di pilgub Sumatera Utara, kelihatan ada kans untuk menjadi salah satu menteri, karena sering ada di dekat capres saat kampanye. Harapan yang membuncah tentunya. Muda salah satu syarat sudah masuk kriteria, parpol pemenang tentu lah mememnuhi syarat, kerja mungkin kalau parameternya dekat selama kampanye.
Efendi Simbolon, politikus PDI-P ini sering bersebarangan dengan Pak Jokowi, mulai dari BBM, semua sepakat naik beliau berteriak lantang menentang. Tidak memperoleh panggung, mengkritik dan menyuarakan soal trio macam, dan lagi-lagi tidak mendapatkan penonton tampilannya, langsung frontal menyebut nama yaitu sekretaris kabinet.
Jelas mau mempertontonkan sikap iri ketika secara frontal menohok Andi W, yang muda, setara dengan beliau, kelihatan jabatan itu pula yang pengin dijabat. Pejabat setingkat menteri yang memang mentereng dekat dengan Presiden. Maka tidak heran ketika sering keluar pernyataan orang-orang muda yang tidak jelas, negara dikelola anak-anak kemarin sore, atau kader tidak jelas.
Mengapa tidak menohok kepada Pak Jokowi secara langsung, kalau kaitannya ialah muda dan kader yang tidak jelas? Siapa yang berani melawan kibaran bendera Pak Jokowi yang telah teruji di Jakarta menang meskipun tidak mudah, namun mengalahkan gubernur incumbent memiliki roda birokrasi dan sentimen kesukuan dan agama berkaitan dengan wakil Pak Jokowi, sedang beliau di level yang sama tidak mampu menandingi. Belum lagi kalau dihitung di pemilihan walikota di Solo. Head ti head, tidak mampu dan tentu berani, kalau dengan Andi W, jelas beliau berani, dengan lamanya di PDI-P dan kedekatan dengan petinggi negeri. Sepak terjang dan rekam jejak yang panjang.
Ara, jauh lebih dewasa dan tenang. Beliau sempat memakai baju putih, celana hitam, dan telah ada di istana. Apa yang dilakukan Efendi Simbolon, cenderung akan mudah menarik simpati dan mendapat dukungan apabila Ara yang menyuarakan dan menimbulkan sensasi. Ara yang berdua di belakang istana, akan ammpu menjual derita dan sakit hati lebih heboh dibanding Efendi Simbolon.
Politik yang sejatinya seni dalam mencapai kekuasaan dan kekuatan, telah tercederai dengan pemikiran pokok kuasa. Seni tentunya indah menyenangkan dan menggembirakan dalam pencapaiannya, bukan bermuka dua, atau mencari muka.
Salam Damai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H