Sebuah penelitian yang dilakukan Sarason pada 1971 menyajikan kesimpulan kejenuhan guru yang membuat mereka seolah tidak bertumbuh secara pribadi. Kejenuhan dan rutinitas ini bukan membawa mereka untuk beralih profesi atau merasa tidak cocok, memang dalam kasus-kasus tertentu itu dijumpai. Secara umum mereka sudah tidak lagi bergairah, merasa memiliki idealisme, atau antusiasme yang sama sebagaimana awalnya. Mereka cukup puas dengan apa yang mereka ajarkan, sampaikan, dan pola pendekatan yang sama. Bagaimana tidak ketika sudah menghadapi hal yang sama secara rutin selama lima tahun atau lebih, dengan anak didik yang sama, materi ajar yang sama dan tidak jauh berbeda.
Rutinitas dan Tuntutan Kurikulum
Guru sekolah dasar biasanya mengajar semua mata pelajaran, kecuali biasanya agama dan olah raga yang ada guru tersendiri, semua mata pelajaran di ajarkan seorang, mulai IPS, IPA, matematika, ketrampilan, kesenian, dan banyak lagi, bertahun-tahun dengan kelas yang sama, di sekolah saya dulu, ada seorang ibu guru hebat yang puluhan tahun memegang kelas satu di sekolah yang sama, saat mau dipindah malah menangis. Sedikit berbeda kalau sekolah lanjutan baik pertama atau atas, akan menyajikan satu dua mapel sesuai bidang yang ditempuh sewaktu kuliah, namun soal usia siswa yang dihadapi jelas saja sama dan dari tahun ke tahun tidak berubah. Rutinitas yang sering menjadikan jenuh atau guru hanya menjalankan apa yang sudah “dihapal” dari tahun ke tahun yang sama. Bagaimana mereka diajak untuk berubah dan bebenah coba? Rutin menghadapi anak yang sama dengan jam yang sama juga. Bayangkan mengajar 30-35 anak siswa selama 24 jam minimal per minggu, per jam sekitar 40-45 menit untuk mendapatkan sertifikat profesional. Bagaimana coba jenuh dan bosannya.
Guru dan Perundang-undangan
Era keterbukaan ini membawa hal yang luar biasa cepat penyebaran informasi. Informasi yang belum tentu benar dan sesuai dengan konteks setempat. Kekerasan yang dilakukan guru belum tentu sama namun disikapi, ditangani, dan diselesaikan dengan cara yang sama. Bisa dibayangkan jika kekerasan oleh guru tanpa pandang bulu diselesiakan dengan jalur hukum karena melanggar HAM, bagaimana coba jika anaknya yang bandel dan tidak pernah bisa diberi tahu dengan kata-kata? UU memang melarang guru melakukan kekerasan namun tidak pernah memberikan perlindungan jika guru mendapatkan kekerasan. Jelas juga serikat atau organisasi guru masih gamang dengan diri dan kepercayaan dirinya, sehingga hingga kini jarang guru yang mendapatkan pembelaan, selain malah seolah ditinggalkan.
Guru Juga Manusia
Guru dengan beban mengajar yang sekian banyak, “membosankan”, dan masih harus mengurus rumah tangga, keterlibatan dalam hidup bermasyarakat dan beragama, belum lagi beban di luar jam dinas yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar, seperti koreksi, persiapan mengajar, menyiapkan soal, belum lagi administrasi sekolah yang seolah tidak ada habis-habisnya. Lihat bagaimana mereka tidak stres jika menyaksikan anak didiknya tidak mudah, belum lagi orang tua juga beragam jenis, karalter, tuntutan, dan sebagainya. Ada anak yang kurang tanggap dalam belajar, guru meminta kerjasama dengan orang tua untuk mendampingi belajar di rumah dengan intensif, eh dijawab kan belajar tanggung jawab guru, coba bisa dibayangkan betapa jengkel, gondok, dan mangkelnya menghadapai kebebalan anak dan orang tua seperti ini.
Panggilan dan Jalan Hidup
Benar dan sepakat bahwa panggilan dan jalan hidup membuat semua menjadi mudah, ringan, dan mengalir. Tentu ada satu dua yang bisa saja salah jalan, karena keterpaksaan dengan berbagai alasan, atau karena hal yang lainnya. Menemukan dan menjalankan apa yang menjadi panggilan akan menjalankan apapun profesinya, termasuk di sini adalah guru tentu membahagiakan. Menikmati apapun yang terjadi, dan yang terpenting adalah siswa, bukan lagi dirinya dengan aneka kebutuhannya.
Guru Bukan Robot Bernyawa
Hal ini perlu disadari dan menjadi pegangan bersama, sehingga tidak menuntut berlebihan akan profesionalisme guru dan perilaku guru yang sering diposisikan sebagai setengah dewa, bagaimana tidak, ketika omong kasar, tidak patut, atau berperilaku miring, langsung akan keluar cap, begitu kog guru, mana ada profesi lain mendapatkan sorotan dan penilaian setajam itu. Berpakaian pun demikian, potongan rambut tidak akan bisa sesuka hati. Lebih heboh lagi, jika melakukan kekerasan sedikit saja pada siswanya. Padahal orang tua di rumah bisa lebih keras dalam memperlakukan anaknya, namun Komnas Ham, polisi, atau minimal atasan akan mendapatkan keluhan.
Sebagai manusia guru juga memiliki keterbatasan di sana-sini. Sepakat bahwa hal ini bukan dalih namun tentu bisa dimengerti bukan dengan beban aneka ragam yang seolah tidak ada habisnya, belum lagi tuntutan ini itu yang sering terbentur banyak hal di luar dirinya. Satu yang mudah dan pasti, di satu sisi dituntut mengajarkan kejujuran, namun membuat nilaipun sudah berbohong. Guru tahu dengan pasti dan mengerti dengan baik, bahwa itu buruk, namun bagaimana bisa berbuat ketika atasan, yayasan, atau pemerintah, berkehendak lain? Ketegangan yang tidak ada penyelesaian, apa akibatnya? Penyakit, minimal stres, dan mana ada pendampingan guru?
Selama ini, termasuk pemangku kebijakan hanya melongok “jendela” tanpa tahu apa yang ada di dalam ruang pendidikan, dan membuat keputusan ini itu, tanpa melibatkan guru sebagai pelaku utama. Jangan heran jika pendidikan hanya begini-begini saja. Apakah guru pernah bosan? Jelas saja iya, kalau mengatakan tidak, pasti mereka hanya mengatakan demi kebaikan bukan dari hati yang terdalam.
Jayalah Indonesia!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H