Pak Beye demi Mas Agus dari Lebaran Kuda hingga Penyadapan
Wah Pak Beye memang benar-benar doktor pertanian, bagaimana tidak menggunakan istilah kuda dan penyadaban, dari dunia binatang ke dunia perkebunan. Demi sang putra untuk menjadi DKI-1. Apa yang dilakukan Pak Beye sebenarnya malah jadi olok-olokan, seperti ungkapan Anis Urbaningrum yang menyatakan pimpinan itu tuntutan malah jadi tontonan. Bagaimana apa yang dikatakan Pak Beye sekarang malah jadi blunder dan berkepanjangan dalam hal yang negatif dan buruk. Sore ini Butet menyatakan ada bapak nyopiri anaknya. Apa yang dilakukan Pak Beye malah memperlemah usaha Agus untuk menjadi diri sendiri dan terutama gubernur.
Langkah yang ditempuh Pak Beye memperlemah saja upaya mendongkrak putranya. Apalagi justru terbaca oleh banyak pihak melebar ke mana-mana dan malah bermuara ke presiden. Persoalan DKI malah menyasar istana, jelas saja berlebihan. Pada awal sebelum kasus Ahok mengecil, Pak Beye membuat konpres fenomenal soal lebaran kuda. Diperkeruh soal penyandang dana, dan meminta dibuktikan siapa di balik itu semua. Gertakan, ujaran, dan kalau boleh membahasakan secara negarawan sebagai keprihatinan presiden yang sudah usai berkarya, namun tidak ada artinya, bagaimana memiliki greget dan gaung untuk berbicara sebagai seorang pemimpin besar bangsa ini.
Kali ini juga menyatakan soal penyadapan usai melihat peluang “menjatuhkan” Ahok dengan penistaan makin jauh dari kemungkinan berhasil. Para saksi, dari jaksa yang seharunya memberatkan tersangka termasuk ahli, dan juga pelapor, malah lebih cenderung memberikan keuntungan untuk tersangka. Pak Beye memanfaatkan peluang ketika lagi-lagi Ahok sebagai pelaku utama, dengan menyatakan adanya penyadapan. Kembali menjadi ramai dan riuh rendah lagi, namun kembali lagi Pak Beye justru mendapatkan sentimen negatif yang berakibat pada suara Agus.
Pak Beye jauh lebih bijaksana membiarkan Agus berproses sebagaimana adanya, natural, alamiah, dan tanpa perlu banyak turut campur yang ternyata malah blunder. Ini sama juga sapuan back tengah yang malah mengarah kepada gelandang serang lawan yang jadi gol yang indah. Perjalanan karir politik tanpa perlu dukungan berlebihan yang malah menenggelamkan Agus sejak dini. Kegagalan yang dijalani dengan penuh kesadaran dan perjuangan, jauh lebih bermanfaat dari pada keberhasilan semu karena katrolan dari mana-mana. Tidak perlu khawatir, anak bisa berlari juga berawal dari merangkak, didukung dengan tertatih-tatih, dan jatuh bangun, dan kemudian bisa berjalan tegak, dan berlari. Semua harus dijalani, sehingga tidak ada yang bisa dilewatkan atau dipotong kompas karena kemajuan teknologi.
Sayang itu tidak menghilangkan halangan, namun memberikan dukungan sehingga mampu mengatasi kesulitan dengan cara dan pemikiran si anak, bukan mengambil alih kesulitan itu. Tidak berlebihan kalau Pak Beye terbaca seolah akan “menyingkirkan” peta persaingan Agus dengan Ahok. Memang sudah bisa dipastikan jika Agus versus Anies sudah pasti akan menang dengan relatif mudah? Belum tentu, jangan lupa kalukulasi politik tidak sama dengan matematika. Atau cara yang sama akan diterapkan kepada Anies? Jika iya, kapan dewasa dalam politik karena tidak pernah mengalami kegagalan?
Pak Beye lupa kalau setiap orang memiliki potensi sendiri. Atau jangan-jangan pola yang sama dipakai ketika Agus dan Ibas meniti karier? Jika demikian, sayang sekali, bangsa dan negara dipakai untuk kepentingan keluarga. Lebih kasihan lagi si anak-anak yang mempunyai kemampuan lebih harus tersisihkan oleh dua anak petinggi negeri. Berapa saja yang harus kalah atau mengalah demi anak papi memiliki karier yang cemerlang. Jauh lebih kasihan adalah si anak. Mereka tentu mempunyai pemikiran, pilihan, dan tentu dan jelas adalah kemampuan sendiri, namun menjadi sirna karena keinginan si bapak untuk mengendalikan mereka mau jadi apa.
Anak bukan duplikasi orang tua, yang harus ikut akan apa kata orang tua, apalagi paksaan orang tua untuk jadi ini dan itu. Orang tua adalah pendidik dan pendamping namun bukan penentu akhir atas masa depan anak. Boleh bahwa orang tua itu mengarahkan namun tentu bukan memaksakan kehendak atas si anak.
Tidak heran kalau Agus dan Ibas kelihatan tidak bebas ketika berbicara. Mereka berdua takut salah dan mendapat teguran. Jika benar demikian tentu kasihan hidup sudah dewasa, berkeluarga sendiri, dan tentu telah bisa menentukan hidupnya, namun masih takut dan di bawah bayang-bayang orang tua. Jika ini benar mereka di bawah didikan perfeksionisme akut yang sangat menakutkan bagi anak.
Membiarkan anak bukan sebuah bentuk tidak sayang, namun ada waktunya mereka untuk bertumbuh apa adanya. Kesalahan itu untuk diperbaiki bukan untuk dijadikan bahan memarahi apalagi menjadikan pengulangan yang itu-itu saja. Memberikan keleluasaan pada anak untuk bisa berbuat bagi dirinya sendiri, tugas orang tua adalah mendampingi dan memberikan nasihat jika memang ada yang tidak tepat.
Jayalah Indonesia!