Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nusron Wahid versus Ahok antara Demokrasi Koncoisme dan Kedewasaan Bersikap

11 Juni 2016   10:43 Diperbarui: 11 Juni 2016   10:52 3190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nusron Wahid sebagai seorang punggawa Ansor pernah marah dengan Gubernur Ahok karena sikapnya yang menolak penggunaan kawasan Monas untuk pengajian. Ia marah dan mengatakan kalau Ahok akan kehilangan banyak pemilih dengan pilihannya tersebut. Ahok yang merasa tidak bisa melanggar aturan yang ia buat, tetap saja dengan keputusannya, dan kehilangan rekan dan pemilihnya. Hal ini ia katakan dalam sebuah pertemuan di Singapura. Nusron yang mendengar jadi tambah jengkel, sudah tidak dengar, eh malah ngember lagi. Sikap yang sangat wajar di bumi Indonesia, dan menunjukkan kedewasaan Nusron kala ia bisa mengatakan Ahok sebagai calon terbaik DKI-1 pada 2017.

Koncoisme yang merusak bangsa dan negara ini.

Kisah pertama.Tetangga ibu sekretaris desa memiliki anak yang duduk di sekoah dasar. Kepala sekolahnya adalah paman sendiri. Pas kenaikan kelas, anak bu carik tidak naik kelas, apa yang dinyatakan? “Percuma saja punya simbah kepsek, kalau cucu sendiri tidak naik....” Langsung anaknya dipindahkan ke sekolah lain dan adik-adiknya tidak ada yang sekolah di desa sendiri. Pas adik sepupunya minta pengantar ke kantor desa, tidak dilayani, untuk kades dengar dan diberilah surat yang diperlukan. Fenomena tabrak aturan karena adanya ikatan persaudaraan, darah, atau konco yang menjadi beban bangsa dan negara ini sekian lama.

Kisah kedua,seorang entah benar polisi atau hanya mengaku polisi. Di bis orang itu ditelpon ponakan (hal ini benar atau tidak juga bisa dipertanyakan) yang menyatakan ditangkap polisi di jalan. Ia tidak marah atau membentak atau apa, hanya tanya pelanggaran apa, tidak bawa surat, dilanjutkan mengapa tidak bawa karena tidak ada atau lupa, ada dan masih di rumah. Sarannya adalah katakan ini telpon dari Pak A dari Polda minta tolong. Kelihatannya polisi yag di jalan tidak mau, dan akhirnya dia sendiri mengenalkan diri sebagai polisi di polda dan meminta bantuan untuk keponakannya. Dan lepas begitu saja si pelanggar ini hanya karena telpon. Seharusnya adalah si penelpon ini harus bertanggung jawab dengan pelanggarannya tidak ada “petinggi” yang bisa melakukan intervensi. Bantuan itu bukan melepaskan pelanggar hukum, namun meringankan beban.

Demokrasi Koncoisme menjadi beban luar biasa bangsa ini. Tidak heran ketika berkuasa pejabat di Indonesia ini susah untuk memikirkan rakyat. Apa yang terjadi adalah balas jasa. Perasaan tidak enak dan merasa ikut berjasa itu bisa merusak sendi-sendi hukum dan perihidup bersama sebagai bangsa dan negara. Balas jasa berkaitan dengan demokrasi harus terukur bukan bisa seenaknya sendiri sehingga malah menjadi beban. Jelas tidak sebanding jika memilih kemudian bisa melakukan apapun juga, minta proyek, pesan jabatan, dan bisa main mata untuk mendapatkan banyak kemudahan. Tanpa pamrih dalam berpolitik memang bisa dikatakan hal yang mustahil namun bisa dimulai dengan sikap tegas minimal taat aturan dan hukum perundangan. Taat hukum itu masih minimal lho.Sebatas tidak melanggar hukum masih bisa diterima. Selama ini justru bayaran untuk itu adalah ranah mafia, jual beli hukum dan perundangan, dan megang proyek yang ujungnya mangkrak. Karena yang dijual sosok bukan prestasi.

Apakah koncoisme salah? Tidak salah kalau itu profesional dan sekali lagi tidak melanggar hukum. Repotnya selama ini adalah banyaknya kisah yang berkaitan dengan koncoisme yang tidak berkompeten, kembali jadi beban departemen, lembaga, dan rekan sekantornya jika demikian. Raja-raja kecil hasil demokrasi akal-akalan itu lebih banyak yang bodoh, tidak mau belajar, dan mengandalkan suap dan karena dekat dengan kekuasaan. Kedekatan relasional yang membuat bisa ditekan dengan alasan balas jasa dan menjaga perasaan.

Kedewasaan Nusron dan Ahok dalam melihat peraturan.Tentu tidak mudah bagi Nusron mendapatkan penolakan, dan tentu harapan yang tinggi dari para panitia penyelenggara acara itu. Di sisi lain Ahok telah menetapkan aturan bahwa kawasan Monas di larang untuk kegiatan yang ujungnya akan membawa PKL kembali ke sana. Pertemanan yang bisa rusak kalau tidak bijak melihat.

Indonesia ini paling lengkap soal peraturan baik dari UUD hingga perarturan RT ada, namun mentalitas koncoisme dan mencari enaknya sendiri adalah jawaranya. Lihat saja di jalan raya itu. Dari sana kelihatan mutu dan kualitas berbangsa dan bernegara. Peraturan tinggal peraturan, soal penerapan dan ketaatan tidak perlu ditanya lagi. Semua-mua di UU-kan, di perpreskan, diperdakan, namun implementasinya nol, pas dilihat lagi ternyata tumpang tindih dan sudah pernah ada.

Apa yang menjadi masalah? Perilaku orangnya. Hukum itu dibuat untuk manusia bukan manusia dibuat untuk hukum. Mengatur tertib hidup bersama agar bisa bebas tanpa melanggar kebebasan orang lain tentunya. Jika pejabatnya dengan mudah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri jangan heran sampai hari raya monyet tetap saja seperti ini. Harapan baik  bahwa model orang-orang yang seperi Ahok dan Nusron makin banyak. Melihat lebih dalam dan bukan hanya permukaan namun seperti sudah seperti raja di raja dalam memberikan penilaian.

Salam.

Sumber tulisan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun