Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Multi Pilot Versus Isa Rumangsa, Bukan Rumangsa Isa

4 Maret 2016   07:27 Diperbarui: 4 Maret 2016   07:36 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Multi Pilot, versus bisa merasakan bukan merasa bisa

Setelah beberapa saat tenang dan tidak ada berbalas pantun ala kabinet kerja, entah mengapa kali ini ramai lagi. Tentu pimpinan kabinet sang presiden kembali pusing belum lagi kelompok yang sejak awal tidak suka, menilai presiden sebagai lemah, mendapatkan momentum.

Beberapa waktu lalu ada pengamat yang mengatakan pemerintahan kali ini multi pilot, usai pemerintahan auti pilot.  Kebebasan berekspresi yang menjadi kebablasen juga terjadi di kabinet. Semua bisa berlaku seolah otonom dan berjalan masing-masing. Apa yang terjadi bukan masalah pimpinan semata namun juga anak buah yang tidak tahu diri.

Pemimpin yang baik itu bisa juga jadi anak buah yang baik. Hal ini ternyata masih jauh dari pejabat kita. Era reformasi yang dinilai bebas sebebas-bebasnya, berbuat sekehendak hati, dan sering abai akan etika dan peraturan. Dari level tertinggi hingga terendah tidak ada yang patuh akan aturan dan juga etika.

Wapres, berkali-kali bertindak seolah presiden dan melakukan banyak hal yang harusnya dikatakan presiden. Kebiasaan periode lalu yang gemes melihat atasannya tidak cekatan, kali ini diterapkan dan tidak semulus yang lalu. Jauh lebih bijak dan baik akhir-akhir ini.  Namun kalau tidak hati-hati kebiasaan lama itu akan dipakai, apalagi Golkar ada di tangan, kerjasama dengan petinggi parpol besar terbuka lebar.

Menko, menko jelas bukan presiden, mereka pembantu presiden. Ada menko yang merasa lebih sehingga berkali-kali melabrak menteri yang jelas-jelas bukan di bawah koordinasinya. Yang ada di bawahnya malah lebih liar dan sering mengajak berantem, lucunya di media, bukan di kantor atau istana. Kalau di rapat kabinet tentu negara patut bersyukur memiliki kabinet yang sangat dinamis, dan tidak ABS, bekerja sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara. Sayangnya hanya polemik bukan prestasi.

Menteri yang jalan sendiri, bukan soal negara, malah partai, pribadi, atau kelompok lainnya. Jenis ini berbahaya karena bisa melakukan  berbagai kebijakan demi kepentingan sesaat dan keuntungan sektarian dan jelas merugikan bangsa dan negara. Hal ini sudah biasa turun temurun, dan kali ini mulai gerah karena kebijakan yang berbeda.

Multi pilot, wajar seorang pengamat mengatakan itu, lepas konteks dari budaya dan falsafah kepemimpinan presiden yang berasal dari Solo. Tidak mudah mengubah kebiasaan yang  telah menjadi karakter, apalagi itu seorang pemimpin negeri yang besar seperti ini. cepat bisa membuat porak poranda. Cepat, lambat, dan kadang ada yang dikendalikan menjadi penting.  Pernyataan keras perlu ditindaklanjuti sebagai bukti bahwa ada reaksi juga sangat penting. Multi budaya dan sangat beragam tentu memerlukan penanganan yang beragam pula. Pak Jokowi tidak akan bisa setegas dan frontal Bung Karno, tegas keras kasar Pak Harto meskipun di depan lembut senyum, atau se tenang Pak Beye, yang mengelola menteri dengan tenang meskipun gak jelas. Berbeda karakter dan berbeda penanganan.

Bahasa sibol sering dinyatakan dengan halus presiden, mengajak para menteri untuk isa rumangsa, bisa merasakan dan berefleksi, namun apa yang ditampilkan selama ini justru merasa bisa, rumangsa isa. Wajar sebagai sarana pembelajaran bagi kedua belah pihak, dari presiden dan bawahannya, agar bisa saling mengerti maunya masing-masing. Apakah tidak merugikan? Jelas merugikan, namun dengan kesadaran yang diperoleh sendiri, dari pada instruksi jauh lebih memberikan manfaat di dalam kepribadian setiap orang.

Mengapa ketika penanganan presiden terhadap menteri menjadi polemik, sedangkan menyelesaikan PKL saat menjadi walikota seolah menjadi rujukan dalam menggusur dan menyelesaikan masalah di bawah? Persoalannya sama, hanya orang melihat bahwa kasat mata di depan publik dan tidak. Masalahnya sama, mereka tidak tertib, mau menang sendiri, dan sama kabinet juga demikian. Hanya bedanya mereka masyarakat biasa dan ini pejabat tinggi.

Sikap yang jelas ketika menggunakan simbol tidak bisa dikatakan dengan bahasa lugas juga tidak ada salahnya. Salah paham bagi yang memang pahamnya salah bisa berbahaya dan itu perlu disikapi dengan gamblang.

Salam

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun