Bangsa besar bernama Indonesia ini, memiliki ciri mudah lupa
Baru saja usai, sudah lupa. Bagaimana ’98 Pak Harto dan teman-temannya, bisa Harmoko, Akbar Tandjung, ABRI, ataupun Golkar. Hiruk pikuk 2014 jelas-jelas mempertontonkan itu. Bagaimana Prabowo yang merupakan korban atau pelaku ’98 yang memegang peran sentral masih saja menjadi nomor dua dalam pemilihan presiden bahkan hingga hari ini masih banyak yang menganggapnya sebagai presidennya. Prabowo sih memang tidak begitu jelas, masih abu-abu antara ya dan tidak.
Golkar jelas-jelas sebagai pelaku utama masih bisa mengacak-acak dengan menjadi pemennag periode lalu, dan lihat apa yang dilakukan. Bagaimana merepotkan Demokrat sebagai penguasa. Saat kemarin belum bisa mengawal ketum jadi capres bermanufer aneka warna yang membuat keruh suasana.
Eyang Harto yang menjadi bahan ledekan dan bahan “permusuhan” utama ’98 dipakai sebagai solgan oleh ARB. Peradilan yang sama sekali tidak ada belum menjadi pembersihan nama Eyang sebagai biang keladi kekerasan dan kehancuran masa itu.
Ingat masa lalu
Saat Pak Beye jadi presiden semua menghujatnya, menyatakannya penakut, peragu, urusannya sendiri dan berbagai hujatan lain, saat berganti Pak Jokowi belum lama saja, sudah mengingat katanya kemarin lebih baik, semua murah, lho?
Atau membandingkan dengan ORBA yang jelas-jelas telah dirobohkan dengan berdarah-darah oleh mahasiswa masa itu. Selalu berulang untuk mengingat masa lalu dan wah enak yang lalu.
Penggerutu
Apapun dijadikan bahan menggerutu. Presiden cepat dikatakan buat apa, pencitraan saja, mana buktinya. Beras naik, dikatakan tidak becus. Menaikan BBM dikatakan kejam menurunkan dibilang tim ekonomi tidak bisa kerja.
Hukuman mati katanya tidak menghargai hidup dan pertobatan. Tidak dilakukan mengatakan presidennya ke mana rakyatnya terkapar karena narkoba.
Menegakan hukum dikatakan intervensi, tidak melakukan dikatakan tebang pilih. Dekat rakyat dinyatakan sebagai pencitraan, jauh dikatakan feodal.
Gumunan, gampang kagum dan terpesona
Gelombang cinta booming semua orang membeli, bahkan ada petani yang menjual pedhet-nya untuk membeli bunga itu menjadi gila hingga sekarang. Bagaimana tidak gila kalau pedhet yang telah berubah menjadi tanaman itu telah masuk ke perutnya karena menjadi sayur.
Louhan, semua berlomba-lomba memelihara dan menjual louhan. Kalau tidak tahu atau punya louhan dianggap ketinggalan zaman.
Akik, luar biasa fenomena akik ini, bahkan ada yang memiliki hingga dua tas, berebut antara rakyat dan pemerintah. Hingga ada yang hanyut di sungai demi akik.
Selalu saja fenomena sesaat dan hilang entah ke mana. Datang dan pergi tanpa ada juntrungannya.
Masyarakat yang mudah goyah dan mudah hanyut melambangkan kehidupan bangsa yang sakit. Tidak heran karena gumunan, mudah lupa, dan ketika lupa apa yang diingat akan dijadikan pedoman, ketika pedomannya tidak jelas paling mudah ya, menggerutu. Dan saya juga termasuk di dalamnya.
Salam Damai.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H