Moderasi Hukuman Mati, antara Harapan atau Bencana?
Revisi KUHP yang membahas mengenai hukuman mati akan ada yang namanya moderasi. Terpidana mati akan mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan perubahan sikap selama sepuluh tahun. Jika terpidana it berperilaku baik, maka bisa diubah menjadi hukuman hurungan semur hidup atau dua puluh tahun.
Beberapa hal yang patut dilihat ialah:
Pertama, siapa yang paling berwenang menyatakan bahwa ada perubahan yang signifikan? Hakim yang memutus? Atau lembaga pemasyarakatan? Jika hakim yang memutus tentu tidak mudah, selama sepuluh tahun itu tentunya telah melakukan banyak rotasi jabatan. Memang sistem bisa diterapkan, namun apakah bisa demikian, sedang komisi tiga saja tidak tahu bedanya sistem dan orang, sudah lengser dipanggil lagi. Hakim kelihatannya susah untuk melakukan monitoring ini. jika pihak lapas, bagaimana selama ini kinerja mereka sangat-sangat susah untuk diharapkan jujur, obyektif, dan benar.
Kedua,selama ini revisi saja isu tidak sedap menguar. Jual beli rekomendasi revisi tidak bisa dinafikan terjadi. hampir semua napi mendapatkan remisi namun kembali lagi mengulangi lagi dan lagi. Napi yang banyak ulah, ingat Gayus pun mendapatkan remisi padahal jelas-jelas perilakunya tidak menunjukkan perubahan, apakah moderasi ini tidak akan menambah lahan pungli atau jual beli lagi?
Ketiga, untuk narkoba, teroris, dan apalagi maling berdasi, uang mereka tidak berseri, akan pura-pura baik dan bisa menyuap ke mana-mana, dan mereka bebas dan kembali lagi denga lebih besar lagi perbuatannya. Lihat Fredi Budiman, Baasyir, dan Gayus, bagaimana perilaku mereka itu. Masih saja begitu, namun juga tidak ada tindakan lain bukan? Bisa-bisa  moderasi menjadi ajang bancaan model baru dan tentunya tarifnya jauh lebih besar.
Keempat, kriteria baik itu harus terukur, bukan hanya alim dan rajin melakukan ibadat semata. Namun perubahan mendalam dan mendasar. Kita tidak lupa dengan perilaku dewan yang alim santun, selalu menyitir asma Tuhan dan Kitab Suci, namun tetap saja maling dan tidak pernah merasa bersalah.
Kelima, moderasi berlangsung 10 tahun , lha katanya penjara penuh, ide kog tumpang tindih dan saling meniadakan, piye to iki? Coba berapa saja beaya dan tempat yang harus disediakan negara untuk model demikian? apalagi elaku yang tidak memikirkan kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara ini.
Keenam,apa jaminan bahwa perubahan itu benar-benar dari hati dan memang berubah bukan hanya memakai kedok dan topeng saja? Â Belum lagi soal beredarnya uang dan suap mengenai hal ini.
Ketujuh, hukuman itu efek jera bukan balas dendam. Jika sudah dikurung sepuluh tahun dan tidak ada perubahan kemudian dieksekusi berarti menyiksa dan memberikan hukuman ganda, kurungan  dan mati. Tentu malah berlebihan hukumannya.
Kedelapan, perlu pertimbangan matang agar tidak malah menambah masalah yang sudah ada di Lapas sebagaimana selama ini. persoalan mendesak untuk mengelola lapas lebih baik tentu jauh lebih mendesak dan penting.