Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencoba Mengerti Pola Pikir Hidayat Nur Wahid

14 Juni 2016   06:19 Diperbarui: 14 Juni 2016   07:47 3214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada beberapa pemikiran waka MPR dan sekaligus mantan ketua MPR, yang perlu dipahami sehingga bisa mengerti arah kebijakan ke depan sebagai seorang pejabat negara:

Pertama soal seksualitas dan kekerasan sekksual, sudah tertuang di dalam tulisan berikut.

Kedua,  dalam sebuah wawancara televisi menyatakan bahwa pemimpin Indonesia harus Muslim, sebagai pembanding dia menunjuk barat dalam hal ini bisa disimpulkan Amerika Serikat dan Inggris sebagai representasi (penafsiran saya), apakah mereka mau dipimpin Muslim, dan itu sudah terbantahkan oleh walikota London. Barat bukan masalah “pakaian” calon pejabatnya namun apakah mampu, pantas, dan layak secara kepribadian bukan embel-embel, suku, agama, ras, dan tetek bengek lainnya. Jangan  kemudian ngeles dengan itu kan hanya walikota. Jika jawaban demikian, jelas ini hanya pola pikir sempit dan mencari pembenar untuk pola pikir rasisnya sendiri. Apakah ini layak menjadi pejabat negara yang berazas Pancasila?

Ketiga, soal calon kepala daerah DKI, beliau bersama sebuah kelompok mengajukan tujuh calon yang bisa lebih baik dari Ahok dalam segala hal. Sepakat bahwa jauh lebih baik bagi Jakarta, namun ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, benar tidak demi Jakarta dan lebih baik, atau asal kelompokku, bukan soal asal  Muslim.

  • Jika alasan adalah  Muslim, mengapa tidak memasukkan Pak Ganjar, Bu Risma, Pak Yoyok dari Batang, Pak Lulung yang telah berjibaku melawan Ahok sekian lama, melamar ke mana-mana, apa kurang Muslim? Mengapa juga tidak memasukan Pak Jarot yang jelas lebih menjual daripada beberapa yang dicalonkan itu sama sekali tidak punya pengalaman birokrasi, catatan dugaan penipuan, kembali ada yang rasis dan fanatis sempit. Sama sekali susah melihat bahwa yang dikedepankan adalah Muslim. Soal koncoisme lebih kuat dan menjadi panglima, Idris yang rekan separtai malah melamar ke mana-mana juga tidak masuk dalam pandangannya.
  • Lha Pak Foke dulu juga Muslim mengapa dulu nyalon dan mau menggantikannya? Jelas alasan soal agama hanya mengada-ada bukan? Pak Foke juga santun kog, malah dikerjain dewan juga senyum saja.
  • Soal penggusuran, apakah hanya Ahok yang menggusur, mengapa di Tangerang ada juga penggusuran tidak menjadi perhatian. Janganlah standart ganda di dalam memimpin negeri ini. Beban sudah terlalu berat dengan model demikian. Menarik adalah kalau seagama, sealiran, separtai, mau berbuat apa saja boleh dan bisa termasuk membangun di tanah negara, di bantaran kali, atau menguasai lahan milik pihak lain. Wah ini pejabat tinggi model apa kalau demikian terus yang menjadi fokus kerjanya?
  •  Apakah tidak jauh lebih bijaksana bagi HNW itu lebih fokus membenahi partainya dulu yang maaf saja masih kurang bisa mengelola soal haus kuasa, lihat bagaimana Sumatera Utara, Deddy Mizwar yang belum menunjukkan pretasi baik namun malah lebih sibuk di dunia selibritis, ini jauh lebih baik bagi bangsa dan negara daripada menonjok Pak Ahok saja.
  • Kasihan Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bojonegara yang sempat memiliki pimpinan cerdas, mikir rakyat dan daeah berati juga mikir negara, malah mau “dibajak” ke daerah lain. Lahirkan pemimpin jangan hanya bajak membajak.
  • Bangsa dan negara ini telah merdeka 70 tahun lebih dan menjelang 71 tahun, boleh bahwa memperjuangkan kelompoknya, namun tidak perlu dengan mengalahkan kelompok lain yang dipandang musuh dan perlu disingkirkan dengan cara-cara yang tidak elok. Kekuasaan memang fokus politik, politikus, dan partai politik, namun tentu tidak perlu dengan menafikan kerja keras pihak yang tidak disukai itu.
  • Apa sih salah Ahok? Ini bukan soal agama atau ras, karena memang Ahok tidak bisa diatur dan diajak kerja sama sebagai dasar motivasi, namun tentu tidak elok jika itu yang dikedepankan. Dicarilah celah dengan berbagai cara dan tidak lagi kena-kena kasus hukum, dicarilah celah yang akhirnya mempermalukan kelompok sendiri.
  • Soal santun, selalu saja santun yang menjadi masalah, lha memangnya boleh santun meskipun maling, contoh gubernur Banten dan Sumut itu?  Anas itu halus, tidak meledak-ledak, dan bahkan  berbicara dan senyum saja teratur, namun maling? Itukah yang disukai. Sepakat bahwa pejabat lebih baik jika santun, namun apakah tidak santun namun jujur itu kalah baik daripada yang santun namun maling dan maruk? Bangsa ini sudah terlalu banyak dibebani musang berbulu domba.  Tampil apa adanya itu jauh lebih penting bagi bangsa ini.

Beberapa hal di atas mencoba untuk mengerti apa yang menjadi pemikiran, arah kebijakan, dan cara menyelesaikan masalah ala Hidayat Nur Wahid. Kesan soal koncoisme, kelompokku, dan menggunakan agama hanya sebagai kedok jauh lebih kuat. Namanya analisis bisa benar bisa tidak, namun apakah salah jika rekam jejak itu memperlihatkan model yang linier?

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun