Menakar Nalar Kelompok Radikal atas Tayangan Film
Heboh film Conjuring 2,memang luar biasa. Panenan yang melimpah bagi gedung bioskop. Ruang yang biasanya sepi mendadak ramai dan cukup lama. Itu urusan ekonomis dan bisnis mereka. Sikap dari sekelompok orang yang intoleran di dalam menghadapi film-film bertema ada kaitan dengan agama sangat menarik. Sikap mereka ternyata tidak tahu isinamun hanya soal juduldan garis besar.
Beberapa berakhir pada penolakan, penggerudugan, dan intimidasi, yang berakibat penonton tidak bisa menyaksikan sajian yang bisa saja bisa memberikan pengetahuan yang baik dan bermanfaat. Dulu hal-hal ini tidak ada kog, bebas saja bisa tayang dan ada lembaga yang menyatakan boleh dan tidak, bukan sekelompok orang yang menekan lembaga ini untuk melarang atau memperbolehkan.
Pertama,Film “?”,kisah lama, film Indonesia yang mengisahkan kehidupan sehari-hari yang mengeksplorasi soal “perselisihan” dan “kecurigaan” soal etnis dan agama. China yang membuka rumah makan, membedakan alat masak antara yang haram dan halal, naksir dengan cewe yang memilih aktivis Ansor. Konflik lucu dan ringan, bukan soal agama dan etnis, namun diramu dengan baik. Pemuda Anor yang awalnya “alergi dengan gereja ini harus mengamakan gereja dan menjadi penyelamat ketika ia membuang kardus berisi bom. Pluralistik, bukan agamis.
Apa yang terjadi?Inilah anehnya salah satu stasiun televisi yang mau memutar saja bisa digerudug untuk membatalkan tayangan ini. alasan yang klise. Itu kisah lama namun nyata bahwa sekelompok orang bisa menekan orang lain untuk berfikir yang sama. Isinya kisah sehari-hari yang diangkat untuk pengetahuan bersama. Mengapa bisa membuat ada yang marah?
Kedua,Film “Soegijo”, kisah agak baru, film yang mengangkat kisah kepahlawanan pahlawan nasional, ini fakta, makamnya juga di TMP Giri Tunggal Semarang, kebetulan dia adalah uskup, pemimpin tinggi Gereja Katolik. Di film ini sama sekali tidak ada pengajaran agama, hanya sekilas tahbisan, inti yang menyatakan Soegijo yang memiliki semboyan 100% Katolik 100 Indonesia ini, kotbah yang berisi mengenai humanisme, dialog nasionalis dan kebangsaan. Sama sekali tidak ada pengajaran agama.
Tidak seekstrem “?” Namun kesulitan untuk tayang juga tidak sedikit, padahal pemainnya, sutradaranya juga bukan orang Katolik. Karena menawarkan tokoh Katolik, sikap curiga sudah membuat antena “kebencian” itu muncul.
Ketiga,Film “Conjuring 2”, ini justru malah menjual agama jelas Katolik berhadapan dengan kuasa kegelapan, setan. Beberapa kali dinyatakan dengan jelas, gamblang, dan itu inti Kekristenan di dalam mengusir setan dan bahkan mengakhiri “VALAK.” Selain kalimat yang lugas, juga simbol-simbol yang jelas di sana. Sangat lugas, bukan simbol yang disamarkan. Bebas melenggang, karena permukaan tidak dirasakan mengeksplorasi keagaamaan. Dinilai sebagai film horor biasa.
Pelarangan, nada sumir, atau minimal penolakan tidak ada. Mengapa ini berbeda? Jika ini memang karena sikap terbuka, seni, hiburan, dan film semata, syukur bahwa sudah berkembang, jangan hanya karena ketidaktahuan saja, setelah sadar baru berbuat lebih jauh.
Film Noah, Son of God, dan beberapa lagi mengalami hal yang tragis, hanya tayang sejenak, atau ada di banner namun tidak jadi, ada juga jauh-jauh hari sudah tidak bisa masuk. Dulu tahun 80-an film ya film mau ada perbedaan atau tidak bukan soal. Film the Ten Commandements,bisa tayang dan bisa dinikmati dengan baik. Tentu kisahnya versi Barat dan itu tidak menjadi masalah.
Artikel ini bukan mau membesar-besarkan perbedaan, namun hendak mengajak untuk bisa bijaksana dan dewasa melihat banyak hal yang berbeda.
- Jika tidak sesuai atau berbeda, biarkan saja, tidak usah menonton dan itu jauh lebih baik, tidak perlu menolak, melarang, eh malah nonton sendiri dengan sembunyi-sembunyi. Kita sudah maju, dewasa, dan iman kita tidak akan goyah hanya kerena sebuah film yang hanya sekali tonton, paling satu setengah hingga dua jam.
- Biarkan saja karya seni, nikmati hiburan dan seninya, dan lepaskan konteks agama atau ajaran apapun kalau memang bukan kepercayaannya. Kepercayaan yang kuat itu justru akan teruji dengan menikmati yang berbeda dengan sikap dewasa.
- Bagi saya, iman yang berkualitas itu jika berani melihat perbedaan dengan kaca mata saya tanpa adanya sikap curiga, menghakimi, dan malah membuat makin buruk akan iman sendiri dan iman yang berbeda.
- Iman sendiri makin kuat ketika berhadapan dengan iman lain. Melihat oh itu ternyata, hanya segitu, iman saya jaug lebih menjanjikan, benar, dan tidak sesederhana itu. Melihat iman sendiri dengan lebih baik karena ada pembanding, bukan hanya katak dalam tempurung.