Membaca Prabowo
Membaca artikel Kompasianer Yon Bayu saya tergelitik dan tertarik dengan sebuah kata yang bagi saya sangat menyentil, “kebodohan” Prabowo. Itu bebas dan sah menurut sudut pandang penulis, semua analisis dan pilihan kata tentu tidak ada yang salah, sepanjang bisa mempertanggungjawabkannya.
Jadi ingat bagaimana polah Pak Prabowo di dalam percaturan politik ini, baik sikap, pilihan-pilihannya, dan juga dukungannya pada rival pilpres lalu. Bagi saya, dia adalah salah satu calon negarawan jika mampu konsisten dengan perilakunya, tanpa membawa-bawa anak buahnya, yang maaf sering kelewatan dan bahkan sangat tidak berkelas.
Dari rival menjadi pengawal.
Sikap luar biasa ditunjukkan Pak Prabowo bagaimana pilihannya untuk hadir dan menghormat kepada Presiden Jokowi saat hadir dalam pelantikanya. Hal yang seingat saya baru kali ini terjadi, biasanya para lawa di pemilihan ogah datang dan mendukung. Belum lagi dukungannya untuk kasus BG yang membelit presiden. Menyatakan di belakang presiden padahal jelas-jelas anak buahnya seperti Fadli Zon dkk di KMP sedang menanti durian runtuh kalau KIH marah dan melempar Jokowi dengan gada impeachment-nya.
Semua berubah karena sikapnya. Pengulangan soal heboh penistaan agama di Jakarta. Sikap-sikap calon negarawan karena masih menunggu proses panjang. Beda dengan Pak Habibie yang diusia sepuh-nya memang telah usai dan memberikan contoh sebagai negarawan yang tidak banyak di NKRI ini. Tidak banyak pula rival jadi pengawal apalagi konsisten dalam banyak peristiwa. Justru sebaliknya banyak kawan menjadi lawan dan banyak kawan pura-pura.
Siap kalah siap menang.
Hal ini juga berbeda dengan kebanyakan politikus di Indonesia yang biasanya siap menang dan ngamuk kalau kalah. Kemarin panas kala pilpres saya yakin bukan dari diri Prabowo namun lebih ulah anak buahnya yang tantrum.Jelas nampak perilaku kanak-kanak dari para pendukung terutama parpol bukan akar rumput malah, bahkan hingga hari ini. Sikap ksatria yang perlu dipoles lagi sehingga bisa tegas di dalam menghadapi anak buah dan pendukung agar tidak memaksakan kehendak dan main tuntut dan tuduh seperti era pilpres kemarin. Hal ini ditunjukkan dalam pilihannya mendukung presiden penuh tanpa pernah mengeluarkan kritik berlebihan terutama lewat media. Lihat bedanya dengan Pak Beye yang malah lebih rival daripada Pak Prabowo. Padahal modal untuk mencela Pak Jokowi tentu lebih banyak.
Manusia pembelajar
Ia mampu memberikan pembelajaran yang baik bagi alam demokrasi di Indonesia. Bagaimana ia “ditipu” Golkar dalam konvensi abal-abal mereka, bagaimana caranya agar punya kendaraan sendiri, maka ia mendirikan Gerindra. Toh bisa eksis dan besar. Hati-hati mengelola anak buahnya agar bukan malah menjadi blunder dan menghancurkan Gerindra jika terus berperilaku seperti sekarang ini. Kalah bersaing dengan pilpres saat menjadi wakil, kemudian berani maju menjadi capres dan didukung banyak partai besar termasuk Golkar yang pernah menipunya, berarti sebuah prestasi yang sangat tidak kecil. Keberaniannya berbeda dengan anak buahnya di parpol dan pendukungnya dalam bersikap kepada pemerintah menunjukkan perbedaan dan pembeda yang jarang dimiliki politisi di sini.
Modal awal untuk bisa saja menjadi RI-2 bersama Jokowi. Luka lama menganga antarpendukung dua kubu pilpres lalu bisa tersembuhkan jika kolaborasi keduanya bisa terjadi. Riak kecil selevel Fadli Zon akan lupa karena mendapatkan permen yang tentu lebih enak bisa diatasi. Apa keuntungannya jika demikian?