Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melatih Urat Kemaluan Koruptor

21 Oktober 2015   11:54 Diperbarui: 21 Oktober 2015   12:19 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Di Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara maju, baru dindikasikan tersangkut dengan kasus suap atau korupsi akan mundur, minta maaf, dan ada yang bunuh diri. Baru indikasi, belum terbukti, apalagi dipidana. Jauh dari itu semua, apa yang terjadi di sini. Tersenyum seolah tidak bersalah, melambaikan tangan seperti selebritas papan atas yang sedang berpose, untung tidak ada yang selfi, kalau diizinkan bawa hp mungkin saja ada perilaku itu. Bisa menyapa awak media seperti tidak punya rasa bersalah.

Rompi Orange, idenya untuk “mempermalukan”, lha malu dari mana ketika itu dibuat kaos dan rompi seperti kaos tim nas malahan. Bangga iya, bukan malu. Budaya latah yang menggejala karena bangga dengan keburukan dan yang harusnya malu. Mengenakan kaos bertuliskan penjara seperti mengenakan kaos tim kebanggaan. Bahkan kaos rumah sakit jiwa pun bangga. Mengenakan rompi tidak efektif karena budaya buruk yang ada.

Mobil tahanan, mobil kancil zaman dulu, bak terbuka dan pakai kursi kayu panjang, lebih efektif untuk membuat efek jera. Atau ekstrem seperti film-film India, diseret dengan borgol yang terhubung jeep kuno. Soal HAM pasti yang ditakutkan, lihat bagaimana perilaku mereka membunuh manusia pelan-pelan. Mobil tahanan sekarang, ber-AC, kaca gelap lagi. Bandingkan maling ayam, akan digebuki, dikalungkan curiannya, dan diarak dengan telanjang atau jongkok. Ini memang biadab atau tidak beradab, korupsi juga tidak beradab.

Inisial, begitu tersangka, langsung saja nama terang tidak perlu inisial. Selama ini banyak sekali oerlindungan yang diberikan seperti mereka itu pahlawan. Anak sekolah sekarang cenderung hapal koruptor dari pada pahlawan. Eh, malah politikus memakai insial, atau persiapan kalau jadi pesakitan?

Kerja Sosial, selama ini tahanan korupsi masih enak, nyaman, kaya, dan bisa mengatur kekayaannya dengan leluasa, pembuktian terbalik seperti orang meneriaki orang tuli di kupingnya, revisi pasal penambahan hukuman sosial. Di mana mereka “dikaryakan?”  Di sekolah dengan seragam dan tulisan besar-besar untuk peringatan bagi generasi muda agar tidak mau ikut menjadi koruptor. Di terminal, di fasilitas umum, menjadi pembersih, sebagai simbol pembersihan perilaku korup mereka dan efek jera.

 

Budaya buruk kita salah satunya adalah tidak punya malu untuk melanggar hukum. Justru berlomba-lomba, lihat saja melanggar lalu lintas mulai ari cara menyalip, rambu-ra,mbu, hingga lampu pengatur lalin bukan barang baru.

Peraturan selama ini dipahami taut dan berani sehongga semakin melanggar seolah semakin pemberani dan jagoan. Budaya malu tidak pada tempatnya justru lebih kuat. Kerja keras dan kasar itu tidak perlu asal benar dan tidak melanggar hukum. Malah sering malu berbuat demikian.

 

 

Salam Damai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun