Mega Korupsi KTP-El, di antara "Dasa Muka Kura-Kura Hijau", dan Pembangunan Infrastruktur
Mendengar adanya pasokan pasir baru bagi depo-depo di sekitaran Kabupaten Semarang, yang konon berasal dari galian untuk membuat embung. Terminal di Solo dan Bawen juga dibangun dengan sangat megah, tidak berbeda jauh dengan bandara, atau stasiun di mana-mana juga bersih, rapi, dan mewah. Sekolah dan puskesmas yang dulu kusam, tidak menyenangkan untuk berdesak-desakan, kini telah banyak yang berubah. Lantai hampir semua telah berganti keramik dari yang lama ubin banyak yang copot. Rumah sakit tidak lagi apa adanya, hampir semua telah bertingkat, ada lift, semua lantai dan dinding berkeramin, kantor dan ruang-ruang tertentu telah berpendingin ruangan.
Banyak sungai sedang dibangun tanggul di tepi-tepinya, sehingga rapi, bisa dibuat taman di sekitarnya, tempat berlari dan rekreasi murah meriah. Jalan tol di mana-mana ada gairah pengerjaan, pintu gerbangnya dibangun dengan megah dan mewah, jalanan juga jauh lebih lapang dan bersih, meskipun tidak lepas dari kemacetan bahkan di kampung jauh dari kota sekalipun. Tentu ini pembicaraan berbeda. Artinya apa? Pendanaan untuk pembangunan bisa terjadi dan terlaksana dengan relatiflebih baik.
Selama ini memang tidak ada pemerintahan? Sehingga sekolah dasar negeri, puskesmas, kusam sehingga terkesan kotor? Pembangunan embung dan waduk di mana-mana, padahal selalu saja kalau musim penghujan refrein soal banjir terdengar, atau sebaliknya kalau musim kemarau, kekeringan dan panen gagal karena tidak ada air nyaring tersiar.
Nyaring terdengar kini soal mega skandal nyolong uang negara di sektor pembuatan KTP yang dengan kartu anggota toko buku saja kalah baik kualitasnya, padahal itu bonus pembelian. KTP-el yang dibeayai dengan mahal dan mengurusnya juga perlu bea itu malah kalah jauh baik kualitas ataupun tampilannya. Ternyata anggara per lembarnya lebih mahal empat kali lipat dari yang seharusnya. Dari politikus hinggga pejabat, sekarang ada yang menjadi pimpinan daerah, ada yang jadi pimpinan lembaga ini itu, hingga yang sudah nyaman di balik jeruji besi masih menjadi pembicaraan di meja hijau persidangan.
Salah satu tokoh sentral yang banyak pihak sebut justru kini nyaman di kursi pimpinan di mana lembaga itu ditengarai sarang penyamun anggaran, salah satunya jelas KTP-el ini. Si tokoh ini seperti Dasamuka, di mana punya sepuluh kepala yang selalu saja masih bisa bertahan meskipun “badai” kesaksian menyasar ke dirinya. Bukan kali ini saja, akhir tahun yang lampau heboh hingga menjungkalkannya dari kursi pucuk pimpinan eh masih bisa balik lagi, tidak pakai lama.
Hampir semua maling anggaran yang berskala besar selalu menyebut namanya. Selalu saja juga bisa lepas dan bisa senyam-senyum tanpa salahnya itu. Lihai sih harus dalam berpolitik, namun jika licik dan culas perlu disayangkan.
Politik mahal dan maling anggaran
Salah satu maraknya maling adalah, politik mahal, baik bagi parpol ataupun politikusnya itu sendiri. Bagaiman tidak jika untuk menjadi kader parpol yang mumpuni tidak perlu kaderisasi dan prestasi namun membeli.Membeli pemilih dan parpol agar diusung menjadi ini itu. Tidak ada makan siang yang gratis, maka ketika menjabat mau tidak mau mengambil kembali keuntungan yang pernah dikeluarkaan untuk modal awal dulu. Salah satu hal termurah dan mudah jelas saja maling anggaran. Mengapa mudah? Suap masih merajalela, baik suap kepada kolega, atasan, bahkan peradilan sekalipun. Jik hal itu (suap dan kolusi ) sudah bisa diminimalisir, tentu potensi maling berdasi ini makin berkurang. Salah satu faktor maling berjas marak adalah politik mahal. Salah satu solusi yang pas membuat mekanisme politik mahal bisa dipangkas dan disederhanakan.
Politik menjadi segalanya, padahal politik dan lembaganya masih sangat kotor.
Ada isu untuk bisa menjadi salah satu perangkat di tingkat desapun harus kenal “petinggi” parpol kasarnya, ada kendaraan parpol besar yang bisa mengubah hasil ujian yang idenya berbasis komputer, ehh ternyata ditengarai masih diintervensi. Artinya apa? parpol masih menjadi maha kuasa, melebihi apapun, padahal kualitasnya ya begitu-begitu saja. Mana sih parpol yang menghasilkan produk yang handal. Toh selama ini pimpinan-pimpinan yang masih bisa diacungi jempol yang segelintir itu bukan orang parpol yang kemudia mau tidak mau, suka atau tidak, dan dengan lugasnya terpaksa masuk parpol.