Bundaran Taman Sari dan Jensud Salatiga memang jantungnya kota kecil nan sejuk Salatiga. Pemandangan Gunung Merbabu di kejauhan, seolah-olah ujung selatan jalan Jensud sungguh indah dan menyenangkan serta menyejukkan. Berbeda dengan lalu lintasnya yang semakin tidak jelas.
Era reformasi membuat segalanya tidak jelas. Dulu, jalur angkutan kota bagus dan rapi, tidak ada yang masuk kota melalui depan rumah dinas walikota, namun melintasi jalan kecil, jalan Yos Sudarso, jalan Muwardi, masuk ke jalan Patimura dan masuk ke terminal Taman Sari, bundaran Taman Sari lebih tertata dan tidak semrawut. Semua kendaraan yang keluar dari terminal melalui pintu timur arah jalan Pemuda dan mengitari bundaran Taman Sari dan tidak boleh ngetem di sekitar rumdin walikota.
Beberapa tahun lalu, dibuat Jensud searah dari mulai pintu barat terminal Taman Sari hingga ujung jalan Jenderal Ahmad Yani. Keadaan bukan malah baik, justru makin parah, terutama motor ke arah utara ataupun selatan melalui jalur lambat kanan dan kiri. Parkiran di sepanjang jalan protokoler, baik motor ataupun mobil. Belum lagi jalan belakang Pasar Raya, lebih parah dan tidak karuan, penjual dengan meja kecil, lapak di jalanan, pembeli, pejalan kaki, mobil, motor, dan semua aktivitasnya.
Angkutan kota, mulai berani hingga sampai pasar dalam mencari penumpang, dunia sama sekali tidak ada yang berani demikian.  Keluar melalui pintu barat terminal, sehingga menambah kesemrawutan ujung Jensud yang berupa perempatan jalan dengan pintu terminal, di mana di sana juga ada taxi ngetem sepanjang hari.
Ide satu arah sebenarnya memperlancar arus lalu lintas juga mempercantik kota dengan penataan yang baik, teratur, dan rapi, bukan malah menambah semrawut dan seenaknya saja. Sudah sekian lama, bukan tambah baik, malah tambah parah dan kacau.
Mengapa demikian?
Pembiaran. Model rakyat Indonesia itu mencoba-coba, karena tidak ada teguran, petugas, dan sanksi, maka makin jadi. Jauh lebih tertob dulu, juga ramah untuk pejalan kaki.
Penegakan hukum lemah. Hukum dan peraturan yang dilanggar dengan sewenang-wenang, padahal peraturan untuk menata orang agar lebih tertib dan menjamin kebebasan satu sama lain. Selama ini dibiarkan semau-maunya.
Penghayatan reformasi sebagai bebas, sebebas-bebasnya tanpa aturan. Bukan demikian seharusnya, yang benar adalah taat aturan dengan kesadaran  bukan karena ketakutan atas represi dari penguasa.
Sikap egois, mau enak sendiri, menang sendiri, bahkan juga dilakukan oleh aparat. Semua orang akan memenuhi tuntutan dasar yaitu enak, bebas, menyenangkan, namun akan terbentur dengan kebebasan yang lain. Ketika sikap egois yang mengemuka, akan kisruh jadinya.
Sikap berani dalam melanggar hukum sebagai kebanggaan, bukan malu kalau melanggar. Berani akan menjadi jagoan, sudah saatnya malu kalau melanggar. Berlomba-lomba dalam melanggar karena dianggap sebagai jagoan dan jawara, coba kalau melanggar itu sebagai hal yang memalukan, tidak ada yang berani mencoba-coba.
Tertib berlalu lintas dan hidup bersama perlu menjadi kesadaran bersama. Kesadaran untuk menciptakan kota yang rapi, tertib, lancar, dan indah tentu merupakan dambaan seluruh warga dan masyarakat.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H