Salah satu kandidat pimpinan KPK yang sedang melakukan fit and proper test di DPR menyatakan bahwa korupsi di Indonesia diakibatkan sistem, bukan karena keserakahan dan watak rakus koruptornya. Dalam kasus-kasus tertentu saya setuju, namun secara umum sangat tidak setuju. Mengapa saya cenderung menyatakan bahwa itu karena keserakahan dan kerakusan?
Koruptor karena korban sistem, akan kooperatif, menyesal dengan sungguh, dan tidak mempersulit persidangan dan penyelidikan. Beberapa pelaku korupsi memang menunjukkan sikap demikian. Kooperatif dengan tidak mencari-cari pembenar dan menyatakan sebagai skenario atau konspirasi pihak lain. Pemeriksaan dijalani sesuai dengan aturan dan pemanggilan dari pihak berwenang. Menyesal dengan sungguh, ada inisiatif mengembalikan apa yang diperoleh tidak sebagaimana mestinya, tidak mengulangi perbuatannya, dan memang hanya pada satu tempat dan bukan di berbagai tempat, selama bertahun-tahun lagi. Tidak mempersulit pemeriksaan dan persidangan, dengan berbagai alasan, sakit mendadak, banyak menyatakan lupa, mau membuka “rekanan” dalam korupsi, dan membuka apa yang dimiliki apa adanya.
Sistem yang salah memang, itu benar adanya. Sistem perlu perbaikan, menjadi persoalan lagi adalah pembuat sistemnya juga buruk. Sulit berharap kalau pelakunya buruk akan menghasilkan sistem yang baik, apalagi hasil dari sistem itu yang baik pula.
Rakus, tamak, dan nggrangsang, semua dimakan tanpa kecuali, meskipun perutnya penuh sekalipun, ini jauh lebih tepat bagi para pelaku korupsi di Indonesia secara umum saat ini. Fakta yang menguatkan pendapat saya ialah,
1.Perbuatan berulang, bukan hanya satu tempat, atau satu tempat tapi sangat besar, Gayus, menunjukkan perilaku yang sama sekali bukan karena sistem namun sifat orang tersebut yang membuat dia korup. Berkali-kali dia melakukan tindakan serupa, melarikan diri ke luar negeri, menyelinap dari LP, menghamili istrinya padahal dia di LP, itu semua karena korupsinya, suap, dan kolusi. Benar ada sistem yang membuat dia rakus, nyatanya masih banyak pegawai pajak yang bersih, misalnya Marie Muhamad. Nazarudin, sama sekali bukan karena sistem, bagaimana dia menciptakan sistem karena semua kementrian dan departemen bisa dia kuasai untuk bermain suap dan korup, berbagi hasil dan keuntungan dari tindak pencuriannya.
2.Bersama-sama, bersama-sama dalam arti mereka sudah membuat peraturan yang sangat menguntungkan perbuatannya, misalnya tidak mau membuat undang-undang pembuktian terbalik. Sangat gampang dan logis sebenarnya, kalau PNS dengan gaji kisaran lima jutaan namun bisa memiliki mobil, motor, dan rumah mewah, padahal pasangannya juga PNS, orang tua dan mertua juga bukan pengusaha sukses, uang dari mana? Padahal juga tidak memiliki bisnis yang besar. Hampir semua lini telah ada korupsi, bahkan hingga bawah. Menteri dan DPR berasal dari kelompok yang sama dan menghasilkan orang yang maling semua.
3.Menyembunyikan kekayaan, fenomena yang sangat mengiris hati ketika sekeluarga sudah sama-sama melakukan korupsi. Pengalihan harta dengan mengatasnamakan anak, istri atau pasangan. Penyembunyian kekayaan model ini mengindikasikan kerakusan, bukan semata karena sistem. Anak bukan hanya diberi makan dengan uang tidak sah, bahkan ikut untuk melindungi.
4.Adanya rencana dan pengalihan isu, saat kepala daerah dan kepala DPRD sebagai pengawas bertalian darah, akan sangat riskan terjadinya perilaku menyimpang. Memang sistem terlibat dengan tidak adanya larangan yang jelas mengenai hal ini, namun banyak pula tempat dan daerah yang tidak melakukan model kekuasaan yang seperti ini. Ketika tertangkay akan keluar pernyataan yang menyatakan salah sistemnya, kami diskenariokan dan dijatuhkan, pencemaran naman baik dan sebagainya, yang sebenarnya hanya rasionalisasi atas perbuatan malingnya.
5.Tidak malu apalagi menyesal, sistem yang buruk akan membuat oknum yang mencuri akan malu tentunya, nyatakan bak artis yang malah senyum-senyum dan melambaikan tangan sebagai bentuk kebanggaan. Maling kog bangga. Bung Karno, Bung Hatta, atau pendiri bangsa lain ketika ditangkap memang bangga karena membela yang benar dan betul-betul karena perilaku tidak adil penjajah, lha ini maling kog berlagak sebagai pahlawan.
Lebih baik diganti saja istilahnya dengan maling bukan koruptor. Mereka cenderung “bangga” dengan sebutan koruptor, coba kalau mereka dicap maling seperti maling ayam atau sandal di masjid tentu mereka lebih malu.
Sistem memang buruk, diperparah dengan kerakusan orang-orangnya. Sebagus apapun sistemnya kalau perilakunya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H