Gelaran Kompasianival, sama sekali tidak saya ketahui, karena memang sejak awal tidak ada niatan datang. Alasan klasik soal finansial dan soal Jakarta. Entah mengapa saya tidak bisa nyaman dengan kota ini, meski sudah lewat berkali-kali, dan berkunjung tiga kali, yang jelas bukan aku banget. Saya lebih memilih sunyinya desa, karena memang wong ndeso,juga seneng dengan ketenangan daripada ketergesaan ala Jakarta, tergesa yang bukan esensial, namun karena ketidaktertiban.
Mulai sedikit melirik ketika ada email dari Mbak Mike Reysent, disusul dari Mas Gatot Swandito, toh masih juga belum ngeh dengan surel yang mengatakan selamat Mas Haryawan, ala Mbak Mike atau satu vote dari saya, kata Mas Gaza. Kemudian baru buka lapak Kompasianival dan di sanalah ja tahu ada salah satu nama saya di sana. Sama sekali saya tidak mengikuti dari awal jadi kaget juga. Mulai kemudian ada inbox dukungan dan ada juga bahkan artikel untuk saya. Untuk itu terima kasih rekan-rekan yang begitu besar dukungannya, ada Bang Venus dan Mas Katedrarajawen via G+, Pak Dhe Arman yang deg-degan karena grup neraka, atau Mas Subhan Riyadi yang membuatkan artikel, Mas Agita yang inbox dan email bahwa mendukung saya, dan mengajak bareng ke Jakarta. Juga sesama nominee sering becanda dengan Bang Peb, yang menyatakan votenya untuk saya.
Minggu terakhir Mas Gaza sudah tanya ada pertanyaan nomor rekening dari Admin, saya jawab la buat apa, toh saya sama sekali tidak berharap untuk itu, toh juga tidak akan datang. Ini bukan soal meremehkan bantuan dan dukungan teman, namun bahwa itu sebuah bonus, yang utama adalah persaudaraan dan pertemanan jauh lebih bernilai. Itu fokus saya, masuk nominee sudah lebih dari jauh perkiraan saya.
Ada email dan SMSdari Bang Kelvinlegion pun perlu sehari semalam baru saya balas. Ini soal Jakarta yang buat saya jauh lebih “horor” dari pada yang lain. Saya sudah sampai Palembang dan oleh kata rekan saya bukan lagi nekad tapi ngawur tanpa tahu Palembang dan menuju ke mana berani datang. Pontianak masih lumayan ada teman seperjalanan. Ini Jakarta, atau terpengaruh juga pemberitaan selama ini (bawah sadar yag menyeruak).
Untung kakak yang bekerja di bus, sedang perjalanan arah Jakarta, lumayan ngirit dan ada kesempatan, he..he...soal finansial memang tidak gampang. Dari sanalah mulai bertemu persaudaraan.
Go Jeg. Bus berhenti di Ciputat, mau ke mana naik apa, masih bingung juga, akhirnya tanya ada dua pengemudi Go-Jeg yang tidak berani jika menjanjikan pukul 8 harus menjemput. Untuk pengemudi ketiga pinter marketing dan malah diaplikasikan sekalian dan akhirnya di antar hingga Smesco. Pengalaman baru soal Go Jeg dan coba buat apa saya di daerah yang tidak perlu Go Jeg, katrok ya?
Perjumpaan dengan saudara di ajang yang sesungguhnya. Datanglah pasangan Kompasianer Bapak dan Ibu Thiptdinata, salaman dan memerkenalkan diri. Luar biasa, setelah sekian lama menunggu Agita yang telah sejak semalam tanya-tanya, akhirnya datang juga. Semangat mudanya membawa perbedaan. Masuk ke ruangan setelah usai Bu Menteri Retno, perjumpaan dengan Raja Fiksi yang merasa buta politik Mas Ikhwanul Halim, kemudian ramai hiruk pikikk perjumpaan dengan rekan lain yang sama sekali tidak ingat nama dan wajah, namun beberapa masih bisa tahu, ada Om TS, kemudian berjumpa Bapak Teha S, yang telah mengirimkan saya buku yang bertahun saya cari, Awareness,yang mengatakan kalau Bang Peb masih ngurusi pekerjaan.
Diselilingi canda dan makan siang beramai-ramai, di sanalah ketemu Bang Petrus Kanisius yang jauh-jauh datang dari Ketapang. Ada Mas Agung yang menyamar jadi Kembang Jagung dan ramai riuh atas traktiran Kang Nasir. Datanglah perjumpaan dengan Bapak Axtea, yang telah sekian tahun saling kunjung dan vote, ada Bapak Jaya Nastiti sempat ngobrol soal sumber tulisan, memangnya karya ilmiah. Ketika hangat berbincang hadir Bapak Tamrin Dahlan. Si Profesor tanpa celana pun datang dengan tawa lepasnya. Jenuh di dalam, toh juga ngobrol bukan ikut seminar, bergeser ke luar dan ada Mas Sigit yang sering berinteraksi di lapak, ada Bang Bo yang akhirnya sama-sama terdampar di Bekasi.
Dunia kedua istilah Profesor membuat hangat di hujan sore itu, kuliah gratis anak alam oleh Kang Isson seputar bagaimana K seharusnya, apa yang bisa digali, candaan yang sangat lepas meskipun baru bertemu. Ada juga Kang Isjet bukan admin yang berkelakar soal kelapa dan pasangan hidup, yang mengeluarkan buku ke empatnya. Kebersamaan yang harus terpenggal karena panggilan iman untuk sholat magrib, regu berganti dan akhirnya bergabunglah dengan Profesor Peb sebagai papa gile oleh puteranya. Hadir Kong Agil yang melegenda dengan Planet Kenthirnya. Datang Ratu dan Raja fiksi bersama yang mengatakan “Mas Susy, tahu saya?” “Lha siapa gak kenal ratu fiksi,” jawab saya.
Bergeser ke ruang pertemuan, masuk pada pengumuman pemenang. Datang dari belakang Mas Ryo yang menyapa dan memperkenalkan diri, sama sekali saya gak nyangka. Bincang-bincang dan malah saya lupa mengucapkan selamat atas wawancara MetroTV-nya. Pengumuman best of opinion, sama sekali saya tidak berharap kalau saya, toh kata Pak Dhe Dosman kemarin ini grup neraka, saya tahu persis, seperti saya ungkap dalam profil, saya bukan siapa-siapa, ada Mas Ryo, Bang Peb, Mbak Suci, tanpa mengecilkan arti Mas Achmad, yang maaf meskipun sama sekali tidak pernah berinteraksi toh setiap hari hilir mudik di lapak HL. Ucapan selamat dari Mas Sigit, Mas Agita, Mas Ryo, Bang Bo, membuat kaget. Belum lagi ketika naik ke panggung dan mendapatkan selamat dari rekan-rekan.
Persaudaraan sejati. Saya paling, ingat paling, berarti yang sangat, adalah kebersamaan dengan Bang Peb dan Mas Ryo dengan ungkapan kegembiraan bersama bagi saya yang mendapatkan piala. Ini adalah kemenangan kami, mengalahkan diri sendiri untuk “Mas Selamat” kata Bang Peb dengan tawa lebarnya, dan Mas Ryo yang mengatakan “Photo dulu Mas dengan sang juara.” Ini benar-benar menjadi gambaran utuh saya, inilah Kompasianer, menang bareng tidak ada rivalitas.