Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana, Pemilu, Jalan Pintas dan Budaya Instan

28 Desember 2015   07:17 Diperbarui: 28 Desember 2015   08:18 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Memasak apapun yang berbau instan itu mudah, cepat, dan semua orang bisa melakukan. Mie misalnya yang harusnya minimal 30 menit bisa disingkat hanya tiga menit pun tanpa menjerang hanya dengan merendam. Bayangkan menyiapkan bumbu, merendam mie dalam air panas, mencuci bahan dan bumbu, memghaluskan bumbu, menumis bumbu, pokoknya ribet, belum masuk perut sudah “kenyang” duluan. Praktis, gampang, dan cepat, soal sehat dan sebagainya belakangan.

Jalan utama kebanyakan telah macet bahkan telah merambah kota kecil bahkan desa dan kampung sekalipun. Libur panjang apalagi hari-hari raya dipastikan jalan itu macet, paling benter padat merayap, apa yang terjadi? Jalan pintas, cari jalan kampung, nerobos arus yang berlawanan, tau bahu jalan sekalipun tidak lagi peduli. Yang penting bisa lepas dari jebakan itu.

Anak sekolah sekarang makin susah diminta membuat yang namanya tugas. Semua tugas diserahkan Mbah Google, tidak heran kalau mengumpulkan tugas akan didapat artikel yang sama semua. Budaya instan telah “meracuni” anak sekolah sebagai generasi muda.

Politik pun tidak berbeda jauh. Mengapa harus susah payah dengan membangun ideologi, visi dan misi, jejaring dan pengkaderan, ataupun menggerakan mesin dan gerbong politik, ketika uang bisa berbicara. Membeli calon pejabat sepaket dengan membeli suara. Tidak jeran pemilu tahun ini medioker, nanti jawara, dan periode berikut telah menjadi sejarah masa lalu. Uang yang maha kuasa telah merajalela. Kerja keras dan cerdas terleliminir oleh kapitalis yang memanfaatkan celas ingatan pendek sebagian masyarakat Indonesia.

Jangan heran banyak media on line yang hanya asal comot dari rumah kita di Kompasiana. Mereka tidak perlu susah payah membayar wartawan atau penulis, iklan mengalir, tulisan jelas orisinil, dan itu syarat iklan masuk. Boro-boro memberikan fee, pemberitahuan saja tidak, apalagi memberikan sebagian dari iklannya untuk berbagi.

Sayang ketika Kompasiana yang memiliki gagasan untuk sharing and conecting, itu terciderai oleh ulah segelintir orang yang ingin potong kompas. Mau masuk NT, GT, Terpopuler, Pilihan, HK, dan centang hijau atau biru dengan cara instan. Ada yang menamai akun tuyul, pasukan dari langit, akun abal-abal, dan yang senada. Bagi saya pribadi NT, GT, atau TA masa lalu, itu hanyalah bonus. Utama dan terutama adalah saling berbagi dan berhubungan. Bagaimana mau berbagi ketika motivasinya adalah mengambil jatah sesama Kompasianer lain dengan menggelontorkan bintang dan komentar. Ada beberapa oknum istilah Eyang Soeharto yang menyelundupkan rekan mayanya, ciri, semua nol baik catatan pribadi mengenai tulisan dan interaksinya, dan tiba-tiba muncul dalam artikel yang sama. Bahwa hal ini dugaan memang lebih kuat, mengenai bahasa dan pilihan kalimat yang identik, susah bagi orang untuk tidak mengatakan bahwa ini orang yang sama sedang bermonolog. Tanda tidak pernah berkunjung ketika tidak bisa membuat bahasa yang berbeda. Ini ciri yang sulit terbantahkan.  Semua perlu kerja keras dan buah panenan akan diperoleh, jangan khawatir gagal panen itu sebagai bagian tak terpisahkan dari proses menjadi.

Kompasiana termasuk ramah bagi pendatang baru, dukungan dan nasihat berseliweran. Keberanian menulis itu lebih penting dan menemukan jiwa di mana yang paling pas untuk spirit kita. Berkunjung memberikan pemahaman lebih luas dan memberikan wawasan baru serta tidak ketinggalan ilmu baru.  Gelombang bintang yang datang sejatinya hanya semu dan tidak benar-benar demikian adanya. Apakah akan bangga dengan yang semu saja atau yang benar-benar karya kia yang diterima dengan baik oleh saudara sendiri? Tentu yang mendapatkan pengakuan dan penilaian dari sesama.

Budaya instan telah mewarnai seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Janganlah karena hanya kecil dan sedikit menambahi dengan ulah kita. Yakini, percayai, dan usaha terus menerus tentu akan mendapatkan jalannya untuk sukses di kemudian hari.

Salam Damai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun