Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Kecil Toleransi Akar Rumput di Antara Aksi Intoleran

10 Desember 2016   06:22 Diperbarui: 10 Desember 2016   17:01 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa aksi intoleransi terjadi akhir-akhir ini, entah mengapa bisa terjadi demikian. Jika dibahas pasi akan dijawab, dikomentari dengan mencari-cari pembenaran, dan menampilkan sisi yang sama dari pelaku yang bereda. Apakah itu menyelesaikan masalah dan kesadaran? Tentu tidak.

Kisah sangat kecil, nyata, dan alami sendiri belum lama. Latar belakang kami, hidup di antara seluruhnya Muslim, keluaga Katolik hanya kami, keluarga Non Muslim lainnya ada sekitar tidak sampai sepuluh kepala keluarga se desa. Kisah toleransi ini sebenarnya sejak sangat lama telah ada, saling kunjung kala hari besar keagamaan. Dua kali kami membuat ketupat opor, untuk Idul Fitri dan Natal, karena tamunya sama banyak.

Tiga tahun lalu bapak sakit dan meminta saya dan ibu untuk memakamkan di desa kami, meskipun bapak berasal dari desa yang berjarak 20 kilo meter, namun mau di desa beliau dewasa hingga tua. Ada sedikit ketidakmudahan ketika ada saudara yang memasang nisan berbentuk salib dibuang dan dirusak. Pernah juga ada penolakan kala saudara Non Muslim yang mau memakamkan di sana. Kami, saya dan ibu datang ke ketua RW yang sekaligus kyai, haji, dan  pendakwah. Beliau mengatakan,” Bu, Mas, saya pribadi tidak mempermasalahkan soal makam, ini bukan Mekah bukan Medinah, ini Nusantara, semua dijamin Pancasila dan UUD ’45, namun sebagai masyarakat saya tentu perlu berembug dengan yang lain.”

Dua minggu berselang, beliau datang dan mengatakan,” Bapak sekarang sudah sehat, tidak perlu menjadi beban pikiran soal makam, silakan di sana, namun masyarakat menghendaki tanpa adanya nisan salib.”

Baru tiga tahun berselang kejadian bapak meninggal. Sebagai orang Katolik bapak tentunya dengan upacara Gerejani, saudara-saudara dari lingkungan Gereja di dukung masyarakat sekitar melakukan tanpa adanya persoalan. Usai upacara Gerejani, ada upacara adat singkat, ucapan terima kasih dan sebagainya dari wakil keluarga, yang oleh Bapak Kyai Haji tersebut maju sendiri tanpa kami meminta beliau, tanpa menggunakan salam, eh malah ada seorang ibu, terpandang, berpengalaman, berpendidikan, menjawab apa yang tidak dikatakan wakil tuan rumah tersebut. Di sana pun Bapak KH tersebut juga menyatakan bahwa adat malam tetap seperti biasa dengan tahlilan selama tiga malam berturut dan juga sore ada dari lingkungan Gereja yang akan mengadakan ibadat arwah.

Saudara-saudara banyak yang heran, lho kog ada tahlilan untuk meninggalnya bapak? Kami katakan bahwa bagaimana hidup bapak bertetangga juga akan diberi dukungan, balasan, dan doa, serta perhatian oleh tetangga dengan salah satu caranya dengan tahlilan.

Sore kisaran pukul lima ibadat Gerejani dimulai, dan sekitar pukul 6. 30 usai, pukul delapan malam saudara sekitar yang Muslim mendoakan bapak dan kerabat yang sudah meninggal dengan cara yang berbeda. Dan itu terjadi.

Dalam salah satu hari tersebut, saya sempat berlaku waspada berlebihan yang membuat malu, ada seorang maaf jika ada kelompok yang berciri demikian, bukan bermaksud untuk intolen atau memancing keadaan, ini yang saya alami, menggunakan celana, baju, dan ciri khusus lainnya datang, sedang di rumah sebelah ada ibadat arwah dari saudara lingkungan Gereja. Saat memarkir kendaraan dengan ada nuansa ketergesaan, saya datangi dan ucapkan salam, beliau jawab dengan sangat baik dan mengatakan, “Saget pinanggih Budhe, saha ndherek bela sungkawa Mas, “(bisa ketemu Budhe dan ikut berduka Mas).  Ungkapan penuh persaudaraan dan sapaan intim itu menggugurkan “kecurigaan” saya, ternyata itu salah satu murid bapak, yang menceritakan kembali bahwa beliau pada tahun’80-an dijadikan ketua RT dan dibantu membuat buku administrasi oleh bapak.

Kejadian-kejadian tersebut memberikan pembelajaran luar biasa bagi saya, beberapa hal menarik dapat saya petik.

Pertama, mengalah tidak pernah berarti kalah. Sikap menang kalah dan kalah menang akan membuat keadaan selalu panas, tidak tenang, apalagi damai. Sikap mengalah memberikan hasil menang-menang yang menyenangkan semua pihak.

Kedua, meskipun mengalah  pihak lain juga akan menyesuaikan diri dan melakukan “pengorbanan” yang tidak bisa kita duga. Ini tidak akan ada pemaksaan namun kesadaran dan semuanya rela hati dan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun