Ki Hajar Dewantara diabadikan 11 Maret 1959, sebulan sebelum meninggal. ARSIP KOMPAS
Tokoh pendidikan nasional itu sangat banyak, salah satu yang menjadi tokoh sentral dunia pendidikan Indonesia ialah Ki Hajar Dewantara. Perjuangan panjangnya untuk bisa memberikan pendidikan bagi para anak negeri tentu saja tidak kurang.Â
Menyaksikan apa yang terjadi kali ini tentu saja beliau akan bahagia dan tersenyum lebar dan manggut-manggut dalam kepuasan lahir batin. Apakah hal berikut juga akan menjadikannya tetap puas atau malah menangis penuh kesedihan?
Pelajar itu membentuk genk. Berkelompok dan ke mana-mana dengan motor yang sama. Bila bertemu dengan kelompok lain berbeda warna atau berbeda merk, akhirnya tawur, berkelahi, dan saling serang. Aroma pendidikan dan orang terdidik  sama sekali tidak lagi tampak.Â
Seragam masih dipakai namun kekerasan dan pukul-pukulan menjadi pilihan. Tidak heran banyak sekali anak sekolah membawa parang, gir berantai, dan ikat pinggang dengan kepala besi. Mana coba ciri anak berpendidikan?
Pelajar itu saling meledek dan merendahkan satu sama lain. Warna kulit, biasanya hitam yang akan dijadikan bahan candaan. Muka jelek yang menjadi olok-olokan.Â
Kemiskinan salah satu tokoh/siswa menjadi sumber tertawaan dan diulang-ulang. Tidak heran, kehidupan nyata hal-hal itu menjadi kebiasaan yang selalu terjadi. dulu, anak Belanda akan meledek anak pribumi, lha ini sama-sama anak Indonesia saling meledek. Ledekan yang bisa menjadi ledakan batin bagi yang tidak kuat mental.
Pelajar itu hanya hura-hura tanpa pernah belajar. Pacaran, rebutan pacar atau incaran, makan dna minum di kafe, jalan-jalan jauh lebih banyak meskipun pakaian tetap saja seragam. Kelas hanya sekejab dan itu pun sangat memalukan. Jangan heran anak sekolah sekarang jauh lebih sulit diajak untuk belajar tekun dan membaca buku.
Guru itu tidak berwibawa malah dibuat bahan candaan siswanya. Siswa dekat dan akrab dengan guru itu wajib dan bagus. Dekat bukan berarti bahwa bisa seenaknya dan malah menertawakan guru. Guru sosok yang berwibawa bukan bahan olok-olokan, dan memilih pelaku yang sosoknya bukan figur yang pantes sebagai guru.Â
Kewibawaan bukan jaga jarak, namun murid akrab dan tetap menghormati. Tidak heran anak sekarang bisa melawan guru karena tontonannya seperti itu.
Siswa itu bersekongkol dengan rekannya untuk ngerjain orang yang tidak disukai. Pendidikan itu menghasilkan pribadi dewasa, berpikir positif, dan berperilaku terpuji, bagaimana bila setiap hari dijejali dengan hiburan anak sekolah yang bersekongkol untuk balas dendam, rebutan kekasih dengan memanfaatkan kelompoknya, menjatuhkan orang yang dianggap sebagai pesaing dan orang yang merugikannya.Â