Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kemacetan Mudik dan Catatan Kecil Karakter Bangsa

9 Juli 2016   09:11 Diperbarui: 9 Juli 2016   16:35 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemacetan. Kompas.com

Fenomena yang terjadi di Indonesia, menggairahkan, menjengkelkan, dan menggemaskan. Peristiwa tahunan, dan kini bergeser ketika ada libur sedikit panjang pun terjadi. peristiwa yang identik adalah kekacauan. 

Dulu, berebut angkutan umum, dan paling nyata itu di kereta api. Bebenah mendasar sudah bisa memberikan titik terang. Soal yang lain mengenai kemacetan menjadi pemandanga berbeda beberapa tahun terakhir dengan adanya mobil kelas rakyat yang menjadi penguasa jalanan, dan motor yang menjadi maharaja.

Jalan raya menjadi parkir terpanjang di dunia untuk berjam-jam. Jangan kaget sekarang, perjalanan 50 km bisa membutuhkan waktu hingga empat jam, yang normalnya hanya 1.5-2 jam. Satu sisi bahwa kemakmuran dan daya beli masyarakat meningkat, jika belum bisa membeli mobil, bisa menyewa dan beaya angkutan umum yang masih jauh lebih mahal.

Kemacetan ada beberapa hal yang sebenarnya bisa diantisipasi jika pembangunan itu ada kerjasama dengan seluruh instansi, sinergi, bukan malah persaingan. Kita saksikan itu fakta lapangan yang tidak susah, namun karena tidak mau bekerja keras alias nggampangke.

Kedisiplinan bersama. Sikap abai dan enaknya sendiri menjadi gejala umum. Bagaimana kita saksikan budaya antri masih memprihatinkan. Dulu soal masuk kereta api, kini mobil yang parkir sembarangan. Ketika capek, berhenti begitu saja tanpa mau memikirkan soal bahu jalan cukup luas atau tidak. 

Ini bentuk abai oleh rakyat secara perorangan. Lembaga atau instansi pun terlibat, konkret mereka, bisa polisi, TNI, ormas, parpol, atau perusahaan yang membuat rest area atau posko di bahu jalan. Pokoknya ada tanah lapang sedikit langsung dijadikan tempat istirahat atau posko. Padahal banyak kantor, sekolah yang memiliki lahan bisa digunakan sebagai tempat untuk ngaso atau posko.

Aparat tidak tahu tugasnya atau tidak mau tahu. Beberapa kali menyaksikan ada mobil mewah yang dikawal oleh aparat negara melaju di tengah badai kemacetan. Lho.... atau ada kemacetan malah asyik main gadget-nya. Ini banyak kesaksian yang bisa menuliskan atau mengisahkan tentunya.

Sikap menghargai orang lain yang masih rendah. Jika saja semua orang taat aturan lalu lintas, mau memberikan kesempatan sebagaimana diatur dan menjadi norma umum, tidak akan terjadi kemacetan yang parah. 

Contoh, memberikan kesempatan orang menyeberang, tidak mendahului dengan seenaknya sendiri, berhenti pada tempat yang layak. Itu semua bentuk penghormatan orang lain, selain karena disiplin diri yang masih perlu perjuangan.

Pembangunan yang belum melibatkan semua pihak. Kembali pada sikap abai aparat, bagaimana demi adanya investor, bisa dapat pula upeti mungkin, atau kadang milik pejabat, pintu tol, pintu jalan lingkar, dipenuhi rumah makan, pom bensin, atau tempat wisata. 

Bagaimana tidak jadi kekacauan kalau arus volume kendaraan naik puluhan bahkan ratusan kali? Hal ini menjadi masalah di mana-mana. Izin bisa menjadi senjata untuk keteraturan. Jika sinergi antarlembaga baik, tata kota dan lingkungan benar, tidak akan ada banjir dadakan karena ada jalan baru, pom bensin di mulut gerbang tol atau jalur lingkar. Di mana-mana ada demikian bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun