Musim kemarau seperti ini, kabut asap di berbagai tempat, yang itu-itu juga yaitu Kalbar, Riau, Sumsel, dan beberapa daerah lain, sering menjadi bencana regional. Apalagi tahun ini menjadi lebih menghebat selain faktor alam dengan katanya el nino Âyang membuat cuaca yang makin panas dan mudah terbakarnya semak-semak di daerah tersebut. Masih diperparah dengan suasana politik dengan kekuasaan baru yang hangat. Gegap gempitanya seolah hal ini baru kali ini terjadi, padahal sudah setiap tahun.
Penyelesaian masih saja berkutat pada pelaku lapangan, pembakar langsung, yaitu masyarakat yang mencari nafkah, sedang korporasi yang menikmati lahan sawitnya, baru kali ini ada tiga yang disegel dan ada satu didenda lebih dari 300 milyard. Bareskrim juga sedang membidik korporasi yang akan disasar, selama ini masih aman sejahtera.
Pembakaran hutan, bukan kebakaran, kalau kebakaran sejak kecil saya menyaksikan hiburan malam musim kemarau dari Gunung Merbabu yang akan selalu terbakar. Namun tidak menjadi masalah lingkungan berkepanjangan, karena memang siklus alami dan secara alami akan selesai sendiri. Sekarang adalah pembakaran, sengaja dibakar, bahkan ribuan hektar. Setelah musim kemarau surut, hadir musim penghujan, dan asap lenyap, berganti hijaunya tanaman sawit muda. Semua pembicaraan asap dan kabut usai, lupa bahaya yang dibawa oleh sawit, yang di satu sisi sangat membantu. Ekonomi bisa bergulir, dan minyak nabati dihasilkan.
Mengapa sawit membawa bahaya di kemudian hari? Sisi menguntungkan sawit tidak bisa dipungkiri, namun banyak pula aspek negatif yang  dibawanya. Kerakusan akan air bagi tanaman ini mencari 30-40 liter per tanaman setiap hari. Bisa dibayangkan bagaimana kebutuhan air di perkebunan sawit yang mencapai jutaan hektare. Tentu air bawah tanah akan banyak tersedot untuk kebutuhan pohon yang berjumlah ribuan juta. Tanaman satu ini juga rakus akan unsur hara, tidak heran pemakaian pupuk akan sangat besar dan mau tidak mau juga merusak tanah. Jenis tanaman ini habis masanya 25 tahun, setelah 25 tahun harus meremajakannya kembali. Apa akibatnya setelah dua kali masa tanam ini, ialah tanah yang tandus dan kering. Bisa dibayangkan, tanah yang diperas habis-habisan oleh tanaman sawit ini selama 50 tahun, baik air ataupun unsur haranya. Padang gurun yang tidak akan bisa ditanami oleh tanaman lain setelahnya. Film-film Hollywood kalau memerlukan padang gurun tanah gersang 30 tahun kemudian bisa ke Sumatera. Pestisida juga sangat diperlukan bagi tumbuh kembang sawit agar bisa menghasilkan panen yang mengguntungkan. Apa yang akan terjadi dengan racun yang begitu besar itu, hingga kini belum terpikirkan.
Baik dan benar berpikir mengenai geliat ekonomi, namun ketika membawa akibat yang jauh lebih buruk, mengapa tidak dihindari. Hari ini menentukan kehidupan 40-50 tahun kemudian, apakah anak-cucu hanya akan diwarisi cerita soal Indonesia yang hijau itu?
Asap saja sudah demikian mengganggu dan meresahkan, kemudian untuk tanaman yang juga tidak lebih baik, penderitaan pelaku pembakaran yang di penjara, sedang pemilik modal masih tetap berbahagia dengan jutaan per hari keuntungan mereka, dan tidak sedikit yang bukan warga Indonesia. Belum lagi konflik lahan dengan binatang, tanaman endemik, dengan adat dan masyarakat, belum lagi suap dan korup soal alih fungsi lahan, belum lagi oksigen dari hutan yang dikonversi. Layakkah sekian rupiah di saat ini, dengan menggadaikan jutaan masa depan itu?
Asap hanya sepenggal akan rangkaian permasalahan yang ada dan akan hadir.
Salam Damai
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI