Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jokowi dan VOC

9 Januari 2016   07:00 Diperbarui: 9 Januari 2016   09:47 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Presiden ketujuh ini sejatinya dari Surakarta, namun malah mengambil ilmu VOC dalam mengalahkan pendahulunya dari Surakartahadingrat. VOC tahu dengan baik bahwa logistik dari Solo ke Batavia yang harus berjalan kaki sekian ratus kilo meter tentu tidak mudah. Soal makan dan logistik itu menjadi titik utama kekalahan yang sangat meruntuhkan mental perjuangan Sultan Agung dan para prajuritnya. Membakar gudang sumber makanan tentu mematikan semuanya. Mau bergerak bagaimana ketika lapar.

Beberapa persoalan yang sangat menganggu disiasati dengan cara VOC ini. Pertama tentu kita masih ingat bagaimana federasi penthung begitu merajalela. Sesaat pilpres usaipun masih jumawa dan seperti tidak tersentuh dengan cara apapun, polisi seperti tidak berdaya. Namun dengan penghentian bantuan dana ormas langsung membuat federasi yang tanpa lawan ini langsung tiarap. Melawan gubernur dengan melantik gubernur tandingan pun mampu mereka lakukan dengan dana dari pemerintah yang mereka tidak sukai, namun mau menggunakan dananya.

Kura-Kura Hijau, tentu kolaborasi dengan parpol jelas saja paling nyesak dadanya, bagaimana tidak segala daya upaya dilakukan untuk mendapatkan dana segar bagi parpol dan kantong sendiri namun malah selalu saja nemu tembok. Minta dana aspirasi, gagal, saat berbelok arah dengan meminta bangun ini itu, tidak jauh beda akhirnya. Pokoknya soal uang tidak mudah. Upaya lain dengan mengganggu kinerja dan mengincar pos Menteri BUMN dan Menteri ESDM, di mana keduanya sebagai lahan basah dan ATM bagi pribadi ataupun parpol.

Pejabat maruk dan haus akan materi. Tentu politikus tidak akan bisa berbuat dengan leluasa kalau kubu sebelah dalam hal ini eksekutif bekerja dengan apa adanya, demi bangsa dan negara, serta semua ide an anggaran hanya demi pembangunan. Jangan heran mereka, ke dua kubu sama-sama korup. Ketika salah satu sudah ditekan untuk berubah, mau tidak mau kubu sebelah akan nyao-nyapan seperti ikan terlempar dari air kolam dan terdampar di tanah dan kepasan lagi. Pihak eksekutif tentu jauh lebih bisa diandalkan dan diubah lebih dahulu, mau tidak mau dewan akan ikut arus meskipun banyak tentangan dan resistensi dengan berbagai cara.

Cara memutus aliran logistik ini ternyata sangat efektif. Selama ini banyak dana dari negara yang diselewengkan, namun juga masih gebukin eksekutif, atau pemerintah, termasuk juga dengan federasi penthung. Sudah rakyat menjadi korban, masih juga pemerintah yang “baik hati” itu digebuk kanan kiri seperti memang sudah seharusnya begitu. Tidak heran kali ini semua parpol, kecuali Gerindra yang memang memiliki pasokan dana lumayan deras berani diam di tempatnya. Demokrat jangan ditanya ahli main dua kaki yang belum pernah kegeblag, jatuh terjengkang ke belakang. Gampang saja bagi mereka untuk balik kanan dan dukung pemerintah, di sana sudah ada satu tokoh besarnya dengan Si Ruhut Si Poltak yang selalu bela pemerintahan. Digawangi P3 dan Golkar yang terbelah, separo pro pemerintah, dan mau tidak mau mereka lambat laun juga pro pemerintah. PAN mulai merapat dan dikuti PKS, apa artinya? Mereka khawatir tidak mendapatkan suplai dana segar dari kursi pemerintahan. Trik tarik ulur kelihatannya tidak bisa dipakai lagi, cara paling gampang jelas saja balik kanan daripada tidak dapat apa-apa.

Perlakuan ini juga akan bisa dipakai untuk menyederhanakan parpol yang terlalu besar dan sama sekali tidak produktif, selain tidak adanya perbedaan ideologis secara signifikan. Sekali tepuk dua nyamuk mati, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.  Menghentikan aliran dana yang kata Pak Bowo sebagai bocor bocor itu, bisa menertibkan anggaran namun juga menyeleksi birokrasi, serta penyederhanaan parpol sekaligus.

Ide dana parpol dengan jumlah fantastik juga tidak ada kelanjutannya, sedangkan jalannya roda organisasi tentu perlu beaya. Pilkadasung telah membuktikan mereka lebih aman dan nyaman menempel pemerintah. Anggapan selama ini yang mengira presiden bisa diatur, pemerintah akan dengan mudah didongkel, sama sekali tidak terbukti, malah semakin susah dan lebih berkibar, satu-satunya jalan balik badan jadi pendukung, meskipun hanya akan dompleng di pinggiran. Sama sekali tidak masalah daripada tidak sama sekali.

Orang Solo yang tidak melakukan ide orang Solo malah sebaliknya cara untuk menghentikan orang Solo yang dipakai. Belajar dari VOC untuk menghentikan bandit-bandit demokrasi yang akan dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Belajar itu dari mana saja, termasuk dari “penjajah.” Asal untuk kebaikan bukan sebaliknya belajar dari mana saja namun untuk memupuk kejahatan dan menimbun keburukan.

 

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun