Film Mandarin yang menggebrak di tengah gempuran film Hollywood, menyajikan banyak hal yang bisa dimaknai. Bisa sebagai hiburan, sebagai tontonan mata yang cukup segar setelah sepanjang tahun penuh dengan rutinitas dalam pekerjaan dan aktivitas.
Keseluruhan film laga ini memang asyik dengan perkelahian yang penuh seni, meskipun ada juga yang mirip adegan federasi fethung, alias preman jalanan. Secara umum perkelahian yang elegan dan penuh seni.
Artikel ini bukan mengupas filmnya, namun mengenai tiga karakter pemain besar yang mewakili dunia ini. Sifat manusia, yang idealis si putih, si hitam atau antagonis, dan yang masih jatuh bangun kebanyakan manusia ini, masih suka banyak hal dan di antaranya uang, popularitas, dan nama diri.
- Sosok ideal, diwailki Yip Man
Manusia sempurna yang hanya mudah dilakukan di dalam film, bisa saja terjadi dengan perjuangan keras. Sifat positif yang menonjol seperti cinta pada pasangan dan keluarga, yang diperlihatkan dengan menemani hari-hari istrinya yang hanya tinggal enam bulan. Tidak mau merepotkan istrinya ketika ia harus mengabdikan diri pada kepentingan umum. Empati, memberikan perhatian pada makan pada anak yang berkelahi dengan anaknya sendiri karena ia tahu akibat kemiskinan itu tidaklah mudah. Apa adanya dan tidak perlu popularitas, menyingkirkan apa yang tidak penting dengan yang penting dan mendesak. Bagaimana ia memilih berdansa dengan istrinya daripada bertarung dengan sorotan seluruh kota. Tantangan di hadapi hanya kehadiran istrinya yang tidak menonton. Memilih kepentingan umum dan masyarakat, ia memilih menjaga sekolah di mana pusat masyarakat untuk menuntut ilmu yang akan digusur dengan semena-mena bagi kepentingan kelompok dan pribadi.
- Pribadi Ambisius Negatif, diwakili Frank dan anak buahnya
Cerminan bagi pejabat dan pengusaha di negara ini, di mana menggunakan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Suap, menguasai pejabat dan aparat hukum. Hal lumrah yang ada di negara masih mengendepankan penghargaan akan materi. Kekerasan dan intimidasi, pembakaran lahan atau rumah, sekolah, pasar yang tidak mau digusur. Membunuh, melukai, menyiksa siapapun yang menghalangi keinginannya. Penculikan, anak atau keluarga yang dirasa sebagai penghalang. Membeli teman dan pendukung, dukungan itu diperoleh dengan mengikat atau membuat ketergantungan secara materi, pekerjaan dan jalan hidup yang akan dimatikan dan dihambat, maka mereka menjadi taat dan akhirnya mendukung, meskipun tahu dengan persis apa yang dilakukan salah. Segala cara, tidak peduli cara dan proses yang penting adalah hasil dan keuntungan sebagaimana keinginannya. Orang lain menjadi sarana baginya untuk mendapatkan impiannya.
- Kelompok mayoritas yang terwakili oleh Cheung Tin Chi
Pribadi yang masih jatuh bangun dalam menggapai keinginannya. Orientasi biasanya, uang, makan, dan harga diri. Gambaran yang diwakili oleh Cheng Tin Cin, seorang pendekar yang menjadi tukang becak. Untuk mendapatkan uang ia masuk dalam petarung untuk bertaruh. Orerintasinya uang yang digunakan untuk makan. Namun suatu saat masih juga membela kepentingan umum. Saat ketahuan kepentingan yang ia bela itu ternyata berbeda dengan yang memberi ia makan, ia jatuh. Ia rela melakukan apapun untuk mendapatkan uang dan akhirnya harga diri. Menyiksa orang demi uang pun tidak masalah, yang penting ia mendapatkan kenaikan taraf hidup. Ia jatuh demi uang. Sosok kepahlawanan ia tampilkan ketika diperingatkan anaknya, karena diculik sang majikan. Ia datang kembali dan melakukan tindakan baik. Ketika tindakan itu tidak mendapatkan reward, ia “membeli” dan akhirnya mendapatkannya. Hargi diri didapat dengan uang, dan itu adalah segalanya.
Akhir film penuh dengan simbolis, di mana sosok ideal yang menang dan mendapatkan kedamaian hati. Warna putih yang bertarung dengan warna hitam. Dan hancurnya harga diri yang dibangun dengan menggunakan segala cara dan tidak patut sekalipun.
Film yang tidak sekadar hiburan ketika kita diingatkan banyaknya pengusaha yang menggusur dengan semena-mena, korup dan suap masih menjadi panglima, dan pengusaha hitam berkolaborasi dengan kekuasaan dan aparat penegak hukum, itu seperti menonton negeri sendiri yang sedang difilmkan.
Ambisi baik dan bagus, namun perlu kerja keras dan cerdas tanpa melupakan orang lain tentunya. Membangun citra diri juga tidak salah, namun tentunya dengan memakai cara-cara yang elegan dan tidak untuk kebanggaan diri dengan mengorbankan orang lain.
Uang, nama baik, prestasi itu penting namun bukan segalanya. Semua itu hanya sementara dan yang kekal adalah hati dan kepribadian yang baik dan unggul.