Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hymne Guru Ternyata Sudah Lama Berubah

8 Desember 2015   06:20 Diperbarui: 8 Desember 2015   06:43 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa Tanda Jasa

Berubah menjadi

Pembangun Insan Cendikia

Tenyata lagu untuk memuliakan guru ini telah lama ada yang ganti. Sejak 2006, namun banyak yang masih salah dengan penggalan lirik, guru pahlawan tanpa tanda jasa menjadi pembangun insan cendikia. Sejak mengenal lagu ini, pemahaman saya soal pahlawan tanpa tanda jasa sebagai tanda bahwa guru itu sering terlupa, beda dengan patriot bangsa yang lain. Ada pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, namun guru itu tidak ada kenangan, tidak ada tanda jasa yang tersemat sekalipun. Mungkin demikian pula banyak yang memahami.

Ternyata, ide dasar mengubahnya karena guru itu hebat bahkan membangun insan cendikia, dengan “tanpa tanda jasa” mengurangi peran penting guru. Apakah demikian? Mana yang lebih benar antara pahlawan tanpa tanda jasa itu sebagai mengurangi peran guru  atau pahlawan yang tidak pernah mengharapkan mendapatkan balasan sebagai tanda jasanya?

Pahlawan tanpa tanda jasa sebagai mengurangi atau  tidak berjasa guru. Sama sekali tidak mungkin seorang guru, kalau tidak salah yang menuliskan lagu ini, menyatakan dirinya sebagai kecil sekali peran guru tersebut. Memang akan lebih pas dan sahih bahwa pencipta lagu tersebut yang mengatakannya, dan dalam salah satu pemberitaan merasa tidak sreg dengan mengganti sepenggal frase itu. Baginya, motivasi atau dasar membuat lagu itu gambaran guru yang terlupa, saat itu siapa yang bangga dengan profesi guru karena berkaitan dengan kesejahteraan. Dan beliau menuangkan itu dalam lagu yang ia persembahkan bagi rekan-rekan seperjuangan. Tidak heran pula ada lagu Oemar Bakri-nya Iwan Fals, yang menggambarkan betapa sederhananya sosok guru. Bersanding dengan profesi lain pasti akan kikuk dan sungkan karena penampilannya. Memang tidak semua, namun bahwa alm Sartono memiliki keprihatinan yang tertuang dalam lagunya. Ketika ada permohonan izin untuk mengubah lagu itu, karena guru makin sejahtera dengan adanya sertifikasi, istri Sartono, sang pencipta mengatakan apa demikian adanya, bagaimana guru yang lain, yang belum memperoleh sertifikasi?

Pahlawan Pembangun Insan Cendikia. Sepakat dan benar memang sangat besar pengaruhnya bagi dunia oleh seorang guru. Pemerintah telah berusaha keras sehingga menjadikan guru sebagai bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Alasan penguat adalah adanya sertifikasi, apakah benar demikian? Berapa persen guru itu yang benar-benar telah merasakan mendapatkan “tanda jasa?” Belum lagi yang kepastian kapan gajian saja masih jauh lebih banyak. Berapa ribu guru yang ada di sekolah yayasan kecil-kecil, memang kalau yayasan besar tidak perlu ditanya.

Melihat apa yang dikeluhkan keluarga pencipta, dan lepas konteks sejarah lahirnya lagu itu, alangkah lebih bijak kalau kementerian bukan mengubah sejarah lagu itu, namun membaut yang baru dengan banyak ide dari lagu lama dengan nuansa kekinian. Tentu sayang dan kasihan almarhum Pak Sartono kehilangan hasil refleksi mendalam atas pengalaman menjadi guru kala itu. Itu milik Pak Sartono yang dipersembahkan bagi guru seluruh Indonesia dengan latar belakang kala itu, bukan kini.

Tidak bijaksana sebenarnya kalau mengubah hasil penggalian pengalaman seseorang dengan “semena-mena” dan mengatakan bahwa ada nuansa yang tidak pas. Musik sebagai hasil olah batin, olah rasa, dan cipta tentu dipengaruhi oleh pengalaman batin secara mendalam. Apakah bisa secara sepihak mengatakan lagu itu perlu diubah dengan pengalaman yang bukan milik yang menghasilkan?

Tidak ada yang salah, dan memang bagus penggalan penggantinya, namun sejatinya bukan itu yang dialami, dirasakan, dan menjadi kebanggaan ataupun keprihatinan Pak Sartono dan kawan-kawan kala itu. Tentu kekecewaan Pak Sartono bisa dimengerti, berangkat dari apa yang beliau alami, rasakan, nikmati, dan juga perjuangkan, eh diganti dengan apa yang bukan miliknya, namun karena kepentingan zaman yang tidak lepas dari kepentingan politik.

Salam Damai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun