Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pangan Sedunia dan Gaya Hidup Abai

16 Oktober 2016   09:04 Diperbarui: 16 Oktober 2016   09:12 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Pangan Sedunia dan Gaya Hidup Abai

Memperingati Hari Pangan Sedunia, seolah tidak ada masalah sama sekali. Pangan ada, melimpah, mahal dan susah tinggal saja impor, seperti sangat mudah. Namun apakah demikian adanya?

Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok paling vital, masih sangat tergantung alam. Tanah sebagai tempat tumbuh kembang, tanaman alami sebagai penghasilnya, baik itu padi untuk jadi nasi, pohon sagu untuk jadi tepung sagu, tanaman gandum untum menghasilkan tepung gandum, dan seterusnya yang semuanya sangat tergantung akan alam. Masih ada jagung, talas, ubi, ketela, dan seterusnya.

Sikap abai.

Pertama, bagaimana jalan tol, jalan lingkar, pabrik telah menggerus sumber utama pemasok padi dan sejenisnya sebagai kebutuhan pokok makanan kita. Sikap tidak bijaksana ketika mendirikan pabrik di lahan subur dan produktif, mengapa tidak dipaksa di tanah tandus? Apakah pemodal tidak mau? Mau asal semua infrastruktur dan kebutuhan industri sampai di sana. Mungkin sepele sekarang masih cukup, tapi lima puluh tahun ke depan?

Kedua, gaya hidup baru dengan tembok dan beton, termasuk sawah diubah jadi pemukiman penuh beton, tidak jarang membuat sawah kebanjiran dan panenan atau tanaman muda mati. Hal-hal ini karena kita abai akan kebutuhan dasar kita.

Ketiga, sikap mental mendasar penghormatan akan pihak lain. Bagaimana kita bisa tanpa merasa bersalah membuang makanan yang tidak kita sukai, lebih parah lagi kalau makan secara prasmana malah dibuang. Jelas soal penghargaan mengambil sendiri kog tidak dimakan dan dibuang. Demikian juga dalih sudah membeli atau milik sendiri. Ini yang perlu diubah. Semua yang tersaji di depan kita itu berkaitan dengan banyak tangan dan bahkan Sang Pencipta. Negara maju sudah menerapkan denda bagi makanan yang tidak dihabiskan.

Keempat, gaya hidup boros. Makanan berlimpah-limpah dan malah akhirnya basi, dibuang, atau tidak dimakan karena memang bukan mau makan, namun gaya hidup bermewah-mewah saja. Ini bisa dilihat di pusat-pusat jajan dari kaki lima hingga bintang lima. Antara yang bersih dan bersisa banyakan mana.

Apa yang bisa dilakukan?

Satu, ubah gaya hidup dalam hal makan, bagaimana menghormati Sang Pencipta dan jerih lelah saudara lain untuk menyediakan pangan yang sehat dan bergizi. Sehingga sebisa mungkin tidak membuang makanan yang sudah dibeli, dipesan, dan dimasak. Mungkin sepele, sepiri dua piring, lha kalau senegara?

Dua, kesadaran bahwa semua ada yang menghasilkan dengan jerih lelah dan cucuran keringat, tentu akan lebih menghargainya. Tidak akan menyia-nyiakan dengan dalih sudah dibayar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun