Hari Gini, Legalisir Bayar, Tanpa Kwitansi Lagi
Masih ada sebuah lembaga negara yang memang belum banyak berubah. Antrian semrawut, bisa dipahami karena kasus khusus, namun sebenarnya bisa dikelola dengan lebih baik, jika ada kemauan dan tidak mempersulit masyarakat yang membutuhkan. Petunjuk sangat sedikit, bahkan tidak ada, bagian informasi tidak ada petugas, mau tidak mau, pertanyaan diberikan kepada petugas yang sedang melayani, masih juga disambi makan gorengan, jadi jawab pertanyaan yang bisa dituliskan besar-besar, makan gorengan, dan meneliti berkas.
Seumur-umur baru ini lah masuk lembaga negara yang namanya pengadilan, untuk sebuah kertas yang menyatakan tidak memiliki catatan pidana. Ribuan orang yang harus dilayani memang, jadi jika semrawut dan tidak teratur sangat bisa dipahami, namun sebenarnya tidak sulit, jika mau kerja keras dan cerdas sedikit saja. Bagaimana kerumunan di pintu utama, tepi jalan nasional lagi, belum lagi meja untuk mengisi berkas sangat minim, akhirnya emperan pun jadi meja tulis. Tentu pemandangan yang sangat tidak elok apalagi modern, katanya zaman digital dan era elektronik.
Usai antri yang sangat tidak jelas, bisa masuk pada pemrosesan (ini sih bisa-bisanya saja), mendapatkan nomor berkas untuk mengambil, hari gini masih pakai selembar kertas (sigaret), dan ditulis pakai spidol lagi....begitupun “pemeriksaan” sambil tangannya belepotan minyak goreng. Sambil iseng tanya-tanya, kapan jadi, karena info yang sudah-sudah sekitar seminggu. Eh jawabannya ternyata jauh berbeda, “Mau dipakai kapan?” “Dua hari lagi...” “ Ya dua hari lagi ambil ya, sambil menuliskan tanggal di kertas sigaret untuk nomor berkas. Belum hilang kaget iseng lagi, berapa beaya. “Sukarela, tapi disepakati 50 saja.” Lhaa???
Dua hari datang lagi, eh ternyata kekacauan masih sama. Tidak separang sebelumnya, Cuma diminta menuliskan nomor antrian, tapi kenyataannya jauh berbeda. Kekacauan demi kekacauan masih ada, belum lagi kepentingan lain dari masyarakat yang lgi-lagi sangat lemah dalam memberikan informasi dan petugas informasi yang tidak ada, atau sedang sibuk dengan “proyek” dadakan yang lumayan ini.
Pas ngantri dalam ketidakpastian, ada rekan yang punya ide nakal namun keren. Dia katakan nanti jangan bayar 50 tapi 25 saja. Nekad juga ini, dan ternyata pas pengambilan berkas dikatakan dicek dulu apa semua sudah benar dan sebagainya, pada akhirnya keluar kata sakti, “Mas beaya photocopy dan legalisir, 50,...” “Baik, ini Pak, saya beri 25....” dan langsung saja dimasukkan laci meja dan tanpa dihitung, seperti cepat-cepat.
Memang paling baik di lembaga ini, meskipun kekacauan di tempat-tempat lain sama, tapi mau memberikan sekedar air mineral dan permen, diphotocopykan dan sekaligus dilegalisirkan, jadi masyarakat tinggal menerima jadinya.
Pertanyaannya, di kepolisian jelas-jelas diinformasikan beaya X rupiah, banner besar-besar, memang photocopy dulu baru dicap akhirnya legalisir pun cap basah, ada juga main-main untuk membuat laris koperasi, jika runut adalah berkas asli dicap, diphotocopy dan baru dilegalisir, tidak cap basah semua.
Di Catatan Sipil, ini membuat heran juga, bagaimana berkas penting seperti KTP dan Akte Kelahiran dengan seenaknya diseteples, duuh bagaimana lembaga yang menerbitkan surat penting begini masih abai dan seenaknya memperlakukan surat yang sangat penting ini? Apalagi masyarakat?
Birokrasi dan mental masyarakat memang perlu dibenahi, namun jika masih tergantung pemimpin bukan sistem tidak akan jalan. Keadaan di kantor-kantor ternyata masih berbeda-beda, tergantung orang yang memegangnya. Jika demikian revolusi mental warga masih akan jauh dari harapan. Justru yang penting itu dari birokrasi lebih dahulu baru nantinya membina warga. Jika warga tertib namun menghadapi birokrat bobrok, mau bagaimana?
Lembaga negara termasuk yang terkecil sekalipun memang sudah beranjak dan berubah namun belum apa-apanya, jika menilik ketertinggalan kita dari negara-negara tetangga. Bagaimana tertib administrasi itu menjadi penting dan utama bagi sebuah negara modern.