Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Korban Kapitalisasi Pendidikan

24 Mei 2016   07:55 Diperbarui: 24 Mei 2016   07:59 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada guru ditegur keras karena menyajikan soal anak sekolah dasar ada unsur kekerasan dan isi yang tidak patut untuk anak. Guru dituntut ke pengadilan karena mendidik anak dengan kekerasan atau dilaporkan polisi karena memukul anak didiknya. Berita yang masih saja ada dan terjadi dari hari ke hari. Tidak mudahnya menjadi pendidik, di mana mau keras ancaman pecat dan polisi, lembek kalau asda kenakan anak dan remaja, akan bisa dipastikan gurunya ngapain?

Kapitatalisasi Pendidikan.Jangan kaget, lembaga pendidikan telah berkembang seperti sebuah pasar di mana berkumpul modal dan keuntungan yang menjadi orientasi. Pola pikir yang sangat tidak sejalan bahkan bersimpangan jalan dengan esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan itu lebih berorientasi ke segi sosial dan pembinaan, yang bertolak belakang dengan kapitalis yang berorientasi akan untung dan rugi, permintaan dan persediaan. Pendidikan itu tidak murah iya, tidak ada pendidikan yang bermutu itu tanpa bea. Peribahasa Jawa mengatakan, jer basuki mawa bea,dalam arti yang sangat luas, bahwa semua perlu adanya beaya. Pendidikan itu pasti mahal karena memang membutuhkan dana untuk membangunnya. Namun beaya bukan segalanya. Apa saja yang terjadi di sekolah yang berkaitan dengan uang atau kapital?

Buku. Meskipun telah disediakan negara dengan berbagai pembeayaan, namun soal buku ini masih saja menjadi sumber tambahan “kesejahteraan”. Soal maruk dan rakus bukan hanya pejabat, namun juga banyak menggoda para guru. Buku bisa sangat menggoda kalau sales datang menawarkan dengan potongan harga yang menggiurlkan. Apa yang terjadi? Anak murid  yang harusnya tidak membeli mau tidak mau diminta untuk membeli. Bisa berbagai cara dan bahasa untuk melancarkan penjualan buku.

LKS. Wah ini jauh lebih ironis, miris, dan entah apa lagi istilahnya. Melibatkan banyak pihak, dinas pendidikan, penerbit, penyusun, dan distribusi, serta mental guru juga terlibat. LKS disusun belum tentu oleh guru yang kompeten. Mengapa demikian? Penerbit asal comot yang penting bisa menerbitkan yang berkaitan dengan uang tentunya. Tidak jarang hal ini yang sering menjadi kasus. Guru terlibat dengan malas membuat soal dan tinggal ambil soal dari sana, baik untuk ulangan harian, tengah semester, ataupun semesteran, dan bisa juga masuk dalam bank soal di sekolah. Diknas bisa berperan dengan menyupervisi penerbit yang mengeluarkan LKs atau masuk ke sekolah telah lewat verifikasi pihak diknas sehingga validitas isi sudah bisa dipertanggungjawabkan. In persoalan sederhana sepanjang guru menyadari tugasnya dan mau bersusah payah untuk mau membaca sehingga tidak kesulitan membuat soal. Kehendak baik saja sebenarnya.

Birokrasi. Raja-raja kecil model kepala daerah melahirkan birokrat borjuis. Mau menjadi pejabat pakai uang, mau tidak mau membutuhkan modal untuk bisa naik jenjang  termasuk di dalamnya diknas. Politik murah bisa mengatasi model birokrasi model demikian. Jenjang karir itu karena prestasi bukan uang dan koneksi. Birokrasi baik, mengerjakan tugas dan kewajiban dengan semestinya bukan untuk mendapatkan suap dan uang, namun karena memang demikian adanya.

Pendidikan elitis.Sekolah-sekolah menjual sarana prasana bukan perjuangan pendidikan bermutu. Tidak heran orang kaya namun tidak memiliki kemampuan bisa mendapatkan pendidikan baik dan berlanjut ke karir yang sama saja dengan model ini, sehingga melahirkan pejabat-pejabat model kompeni bukan mengabdi namun mencari uang dan materi saja.

Pendidikan tidak murah, namun bukan orientasinya pada uang dan materi terus. Kesempatan ke dalam pendidikan yang terjangkau, kritis, dan keberanian mengedepankan kebenaran merupakan sisi humanisme yang selama ini telah tersingkirkan makin jauh.

Kesejahteraan itu tidak semata-mata karena uang. Hal ini perlu ditekankan ke dalam jiwa guru yang telah luntur dan tercemar dengan arus globalisasi yang tidak disikapi dengan bijaksana. Dulu, guru itu sederhana, tulus, jujur, dan tidak neka-neka. Sederhana itu tidak sama dengan kere. Kere itu bukan hanya miskin secara materi, namun sikap batin yang tidak pernah bersyukur dan merasa cukup.

Kekerasan di sekolah, kesalahan soal, buku yang tidak pantas, tentu sangat tidak elok dan pantas kalau hanya guru saja yang menanggung. Buku, LKS, dan penggadaan penunjang itu tidak mungkin tanpa izin dan masuk melalui kepala sekolah. Atasan juga tidak boleh lepas tangan begitu saja. Kekerasan di sekolah biarkan di selesaikan di sekolah, jika sudah keterlaluan, berulang, dan mengintimidasi anak secara umum, bisa dibicarakan. Penegak hukum harusnya juga bijaksana untuk memproses hukum model demikian. Jika anak sampai masuk rumah sakit, patah tulang, atau hingga traumatis bolehlah dikasuskan.

Bagi guru jangan khawatir dan takut untuk menegakkan disiplin sehingga malah membiarkan anak menjadi liar dan bersikap seenaknya sendiri. Hukum itu ada di dalam nurani masing-masing. Asal dilakukan dengan hati yang tulus dan jujur, jangan khawatir akan persoalan hukum.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun