[caption caption="Sumber: medan.tribunnews.com"][/caption]Serombongan anak siswi SMA yang baru usai ujian, mungkin, melampiaskan kelegaannya dengan konvoi bermobil. Karena melanggar lalu lintas, dihentikan oleh polwan, dan mereka tidak terima. Dalih yang dikatakan mobil lain juga melanggar mengapa hanya mereka yang ditangkap. Sikap tak peduli, tetap dalam mencoba untuk menilang mereka, patut diacungi jempol. Tiba-tiba ada gertakan dari ABG yang mengaku anak jenderal dan bisa menurunkan pangkat bu polwan, dan melengganglah mereka.
Kisah lama, ada calon polisi sedang melakukan praktik di sebuah polres, masa jaya Orde Baru, jadi KKN masih banget. Pas di lapangan, calon perwira ini menghentikan sebuah motor milik anak petinggi daerah. Sang bapak telepon ke kantor dan marah, "Kalau tidak terima, silakan telepon bapakmu." Paginya sang perwira ini langsung pindah ke daerah sulit. Ternyata, calon perwira ini anak angkat petinggi negeri. Usai sudah kasus pelanggaran, malah bapaknya ikut juga kena getahnya.
[caption caption="Sumber: Tribun Medan"]
Lucu dan ironis sebenarnya ketika merasa anggota keluarga besar ini itu, namun malah melakukan pelanggaran dan dibebaskan oleh koleganya karena kalah kelas dalam “birokrasi” busuk bernegara ini. Masih banyak bisa berkeliaran dengan cara-cara demikian.
Merasa anak atau keluarga pejabat namun bangga melanggar dan bukannya malu untuk berbuat salah. Pendidikan di dalam keluarga perlu ditekankan bahwa anak pejabat itu harus menjadi contoh baik, bukan malah menggunakan kuasa bapaknya untuk keluar dari tanggung jawab di dalam pelanggaran hukum.
Jadi ingat apa yang ditulis Koentjaraningrat, bagaimana mental bangsa ini yang meghambat pembangunan. Lihat saja negara yang jauh di belakang kita merdeka, kekayaan alam, dan kesempatan untuk maju namun jauh meninggalkan kita. Bandingkan dengan tetangga yang kecil, tidak punya apa-apa, seperti Singapura itu. Air saja minta kirim dari Indonesia, namun mereka bisa begitu besar sebagai negara maju.
Paling tidak ada tiga hal yang bisa kita pelajari:
Pertama, bangsa ini minder melihat pangkat besar, atasan, dan kuasa. Sikap sebagian besar budaya, diperparah penjajahan kolonial, meskipun telah 70 tahun tapi masih kuat mengakar di dalam jiwa anak bangsa ini. Ciri-ciri yang bisa dilihat, mencela prestasi orang lain, sedang diri sendiri saja masih nol besar. Bagaimana komentar soal Rio Haryanto, Agnes Monika di kancah musik internasional, atau Joe Aleksander di Grammy Award. Masuk nominasi itu sudah luar biasa lho.. Tapi malah ada yang komen, "Akhirnya gagal..." Lho? Ada perubahan akan dinyatakan sebagai penghambat kemajuan, karena nyaman dengan zona nyamannya selama ini. Lihat saja bagaimana pejabat yang membuat perubahan akan dihambat dengan berbagai cara, kriminalisasi, isu suap, SARA, dan sebagainya. Intinya, iri dan merasa tidak mau diajak berubah.
Kedua, disiplin rendah. Jelas kita bisa saksikan, bagaimana dewan yang malas bersidang, tertib hukum apapun yang masih sangat rendah, dan banyak hal yang menunjukkan ketidakdisiplinan tersaji di depan kita. Aturan bukan untuk ditaati malah untuk dilanggar. Tidak malu melanggar hukum namun malah bangga ketika ada di dalam kebersamaan melanggar aturan. Kata ahli, cermin bangsa itu ada di jalan raya, dan kita bisa tahu bagaimana itu terjadi. Terbaru, bagaimana dandim yang berpangkat perwira menengah tertangkap tangan sedang nyabu. Berapa negara membiayai hidupnya, untuk studi, karir, dan seluruh hidupnya agar memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara, eh malah merugikan dengan perilakunya yang seperti itu.
Ketiga, tidak bertanggung jawab. Jelas sekali bagaimana hidup bersama kita. R. Benedict menyatakan mental kita ini dalam merasa bersalah kalau diketahui, bukan menyesal karena kesalahan yang dilakukan. Lihat bagaimana kita melihat para maling itu, senyam-senyum, malah merasa dikorbankan, konspirasi, dan sejenisnya. Kita bisa belajar dari dunia Barat, Jepang, Korea, kalau tersangkut, baru disebut korupsi saja langsung mundur. Jelas contoh, petinggi FIFA disebut dalam Panama Papers langsung saja mundur, lalu bagaimana dengan presiden PSSI? Statusnya jelas lebih tinggi, tersangka, malah lari ke luar negeri.
Revolusi mental sangat mendesak bukan hanya ada di atas kertas dan slogan kampanye dan kementerian saja, namun merasuk dalam jiwa dan raga anak bangsa. Paling parah, suka atau tidak suka ada di bidang pemerintahan seluruh jajarannya. Harapan besar ada di pihak swasta yang telah jauh lebih baik. Disiplin tinggi swasta, tanggung jawab yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, selama ini dirusak oleh penyelenggara negara yang berjiwa maling.