Peribahasa kuno, dinyatakan seorang guru besar, apa yang harus dilakukan ketika garam kehingan asinnya. Gumpalan tidak ada gunanya, tentunya. Apa yang bisa dipakai untuk mengasinkan kembali? Atau sudahkah ada recovery untuk garam yang sudah kehilangan daya gunanya ini?
Urat kemaluan, teristimewa bagi pejabat dan politisi sepertinya telah putus. Tidak ada malu-malunya melakukan kejahatan namun masih berani menantang dan menyatakan sebagai perbuatan fitnah yang ditimpakan. Tersenyum seolah-olah pahlawan besar yang sedang dijebloskan lawan politiknya, masih berimajinasi sebagai tahanan politik yang berjiwa negarawan dan besar seperti Bung Karno dkk yang diasingkan dan dibuang, padahal pelaku kriminal murni, korupsi. Berupaya ke semua jalur hukum yang mungkin, bahkan ada yang hendak menguji materi hukumnya ke MK segala.
Kebenaran bukan masalah benar dan salah, namun banyak kawan, bejibunnya pendukung, dan lantangnya berteriak, sudah menganggap diri benar dan membela kebenaran. Kebenaran subyektif dan ppenuh kepentingan sesaat dan menguntungkan diri dan kelompok semata.
Kebenaran bisa diarahkan, dibelokkan, dibentangkan asal lantang, ada uang, dan peluang disiapkan untuk itu. Undang-undang diubah demi memuaskan hasrat diri berkuasa, mengingkari kebenaran hakiki. Teman dan pendukung dikelabui dengan kelicikan pola pikir yang seolah-olah benar. Logika dijungkirbalikkan dan menimbun fakta dan data yang sepotong-sepotong asal mendukung pendapatnya.
Kesalahan dibela dengan gigih, dengan lantang, dan dengan berbagai cara untuk membangun opini. Opini yang dibangun di tengah masyarakat yang mudah lupa dan pemaaf telah mendapatkan habitat subur.
Kebenaran yang ada dengan berbagai cara dikebiri, dimusuhi, dan dijegal untuk dimusnahkan. Sifat tamak menggunakan semua cara untuk membangun kebohongan dan kecurangan seolah-olah benar.
Budaya yang ditanamkan sejak kecil selalu berani bertindak. Bertindak benar salah yang penting berani dulu, tanpa adanya nilai moral yang dipegang erat, akhirnya berani dan tanpa punya etiket dan perasaan malu, bahkan untuk melanggar, korupsipun berani, dan senyam-senyum, pejabat sekaligus pejabat dan preman berdasi.
Malu untuk melanggar, bukan takut melanggar. Berani memberikan kebanggaan, bahkan untuk yang salah, maka, banyak yang berani melanggar lalu lintas, berani melawan arus demi tidak capek, berani korupsi asal tidak ketahuan. Berani berkaitan dengan macho, jantan, gagah, jawara, dan berjiwa pahlawan.
Sayangnya berani yang berjiwa dan penuh makna positif itu telah ternodai karena tidak ada moral yang mengawalnya. Bahkan cenderung menjadi kebanggaan ketika melanggar, bangga mencuri dan tidak ketahuan, dan keterusan korupsi pun tidak malu, meskipun ketahuan.
Berani menyatakan Asma Allah dengan tegar, tegas, keras, dan penuh keyakinan, namun tidak punya malu setelah itu membunuh, membakar, merusak, dan menghakimi sesamanya, tanpa adanya pengadilan yang adil. Tanpa malu marah-marah dengan menyebut nama Tuhan Yang Agung, demi kepuasan angkara murka pribadi.
Keberanian tanpa moral akan melahirkan kekerasan, pemaksaan kehendak, dan penindasan oleh para penguasa, baik penguasa negara, ataupun penguasa-penguasa kecil berkedok agama, dan kelompok yang memenuhi hasrat kekerasan semata.
Moral akan memberikan perbedaan jelas antara benar dan salah. Salah untuk dibina dan dibenahi, namun ketika kesalahan itu berulang-ulang, perlu pendidikan dan tindakan tegas yang lebih berguna.
Malu untuk melanggar.....
Malu untuk berbuat curang....
Malu untuk sok berkuasa...
Malu untuk membangun opini seolah-olah benar....
Berani untuk berbuat kebaikan...
Berani membela yang lemah,...
Berani menyuarakan ketidakadilan.....
Apa yang terjadi malah sebaliknya, berani melanggar, malu menyuarakan kebenaran....
Salam Damai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H