Pilkada DKI menghasilkan sebuah kejutan yang cukup besar dengan tersingkirnya Agus-Sylvi secara dini dengan perolehan suara yang tidak terduga. Soal kekalahan paslon nomor satu memang banyak diprediksikan, namun dengan suara sekecil itu, tentu tidak banyak yang memperkirakan. Sejak awal pengamat, banyak pula orang termasuk di K ini yang lebih cenderung Agus-Ahok ke putaran kedua, daripada Ahok-Anies. Survey demi survey sejak awal sama sekali tidak ada yang memberikan hasil kalau Anies bisa sejauh ini dengan suara cukup besar seperti hasilnya kali ini.
Peran Pak Beye yang fokus ke Ahok, malah melebar ke Jokowi segala. Sepertinya timses paslon satu, terutama Pak Beye hanya konsentrasi mengalahkan Ahok. Amunisi dan semua serangan selalu saja Ahok dan Jokowi. Dengan menempatkan Anies pada posisi under dog,membuat mereka lebih leluasa memainkan isu di bawah tanah tanpa terlalu kentara. Ahok jelas sudah punya suara, namun dengan deraan dari kubu Pak Beye, suka atau tidak, kehabisan juga waktu untuk memperhatikan Anies dan pergerakaannya. Jelas kubu Pak Beye memandang sebelah mata pada paslon tiga, dan akhirnya jadi bumerang.
Berebut FPI dan pujian Pak Beye, kaget juga seorang Pak Beye memuji FPI seperti itu. Seperti orang lupa daratan saja, ternyata sudah terendus bahwa ada balik badan dari kelompok itu menyeberang dan lebih mendukung kubu sebelah. Waktu mendekat, amunisi dan energi sudah habis untuk menyerang paslon nomer dua, eh malah di tikungan terakhir paslon nomor tiga bisa mengambil alih suara yang sangat diharap-harapkan.
Pertarungan paslon satu dan dua, membuat energi paslon satu kedodoran, belum lagi pecah fokus dari Pak Beye karena semua mau dijawab, semuannya mau dikritisi dan dijadikan bahan untuk menaikan pamor anaknya. Akhirnya malah gagal total karena salah menempatkan mana yang perlu ditembak, mana yang perlu ditepuk, dan mana yang perlu senapan otomatis. Kemarin membunuh nyamuk saja pakai senjata semi otomatis.
Peran parpol sangat minim. Hampir semua parpol tidak ada yang bekerja. Paslon satu mau tidak mau Demokrat saja, dua tidak kelihatan parpol kecuali ketum PDI-P yang turun tangan, paslon tiga juga tidak nampak, cuma pamer ketum Gerindra sebentar. Peran parpol nihil, mesin partai cenderung tidak signifikan, lebih menjanjikan peran relawan apapun itu namanya.
Menarik justru kelompok antah barantah di dunia demokrasi malah jadi rebutan, FPI. Entah magnet apa yang membuat kelompok ini seksi. Namun semua tahu bagaimana reputasi mereka selama ini, dan kelihatannya kemarin mereka jauh lebih memberikan peran daripada parpol. Parpol kelihatannya tidak bisa menggerakan roda mesin mereka masing-masing.
Tiba-tiba, usai pencoblosan selang sehari PKS langsung menyatakan kalau komunikasi dengan paslon satu sudah terjadi. lha selama ini ke mana mereka? Khas parpol kerja belakangan, hasil di depan mata langsung semangat. Suara Anies kini signifikan, jika menggunakan kalkulator matematika, pemilih Agus langsung beralih ke Anies, jelas sudah 56 % lebih dan Ahok kebagian 44 % dan artinya Anies gubernur baru.
Namun apakah semudah dan sesederhana itu?
Faktor FPI dan elitnya yang diseret-seret ke ranah hukum akan sangat membantu. Pergunakan isu ini secara sehat bukan membalas dengan cara yang sama tentu saja, tentu paslon nomer tiga akan kedodoran. Ingat jangan pakai pola yang sama. Jika ini dikemas dengan baik bukan tidak mungkin rasionalisasi pemilih tercipta dan kembali. Jangan pakai kampanye hitam dan jahat, namun bersaing secara bermartabat.
Faktor Pak Beye. Kemarin Pak Beye ngebet banget menyerang Pak Jokowi berkaitan dengan Ahok, apa tanggapannya kalau Pak Jokowi mengajaknya bertemu? Mosok masih juga menggunakan pola tantrum-nya. Tentu ini jauh lebih menjadikannya dinamis.
Faktor mesin partai yang selama ini hanya nitip nama. Pergerakan partai sangat penting. Nama elit tidak menjamin, namun para petinggi yang di kabinet tentu berbeda ceritanya. Ke mana mereka akan berlabuh tentu sangat menentukan bandul ke mana. Ada dua soal parpol ini yaitu parpol dan massa akar rumput, namun petanya bisa ditebak.