Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gajah Berkelahi, Pelanduk yang Harus Bertanggung Jawab

16 Januari 2015   14:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:01 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing pemilihan Kapolri kembali membuka dua kubu. Kubu elit dengan dukungannya dan kepentingannya, ada pihak lain masyarakat dalam hal ini LSM dan lembaga-lembaga yang tidak memiliki akses secara langsung untuk menentukan ya atau tidak.

Persoalan menjadi bola salju saat KPK menetapkan status tersangka bagi Komjen BG. Efek domino yang ada, adalah, Komjen BG sebagai satu-satunya calon yang diajukan presiden ke DPR untuk dilakukan test kelayakan dan kepatutan.

Nalar sehat yang lepas kepentingan, DPR bukan akan berkilah atas nama tata negara dan perundangan dan juga azas praduga tak bersalah, jelas-jelas sudah tidak layak dan patut bagi seorang calon pemimpin tertinggi institusi penegakan hukum menyandang status tersangka.

KPK aneh bin ajaib dengan banyaknya kasus mengapa bisa menonjolkan satu orang ini dengan tiba-tiba, bahkan belum ada pemeriksaan baik tersangka ataupun saksi lainnya. Maka tidak heran ada tersangka yang berani teriak-teriak, seperti SDA yang masih berkuasa paling tidak di PPP.

Aneh kedua Kompolnas mengajukan calon yang oleh KPK ternyata tersangka. Memangnya kompolnas dan Polri memiliki standart yang berbeda? Tentunya tidak demikian. Hasil pemeriksaan internal, tentunya kompolnas mengamini hasil pemeriksaan Polri, Komjen BG bersih. Kalau demikian, Polri dan KPK memiliki perbedaan signifikan mengenai penilaian korupsi.

Presiden hanya mengikuti alur satu arah dari Kompolnas dan Polri dan secara hukum tidak ada keharusan masukan dari KPK. Kebijakan yang aneh, ketika kabinet saja meminta masukan KPK, mengapa ini tidak. Misalnya ini karena tekanan yang demikian hebat dari parpol pendukung, sudah   menunjukkan membiarkan presiden masuk dalam perangkap legeslatif yang sejak lama telah mencari celah.

DPR menyantap umpan manis berupa status tersangka padahal dalam waktu yang belum lama telah ada surat dari presiden untuk mengadakan persetujuan mengenai Kapolri. Persetujuan memberikan keputusan mutlak pada presiden yang kedua-duanya bisa dikatakan melanggar hukum. Melantik pro korupsi tidak melantik tidak taat azas hukum bernegara.

Apakah ini kompensasi atas kinerja presiden yang membahayakan bagi kelompok lawan? Kalau d=itu jelas karena sejak awal memang sudah tidak mendukung, wajar ketika ada peluang akan dijadikan senjata andalan berupa perebutan kekuasaan.

Bagaimana partai pendukung, mengapa membiarkan keadaan memburuk dan membahayakan presiden dan seolah-olah membiarkan dengan alasan azas praduga tak bersalah, atau istilah kriminalisasi, dan banyak alasan lainnya, yang justru menyudutkan presiden.

Permainan elit yang semua orang tahu apa yang ada di sana. Yang jelas ada dua standart korupsi ganda di lembaga tinggi negara. Ini sangat berbahaya. Karena nanti seenaknya saja karena tidak suka katakan saja koruptor dan bebas memilih pihak yang didukung dan membuang yang tidak disukai.

Apakah partai pendukung merasa Jokowi sudah tidak bisa “dikendalikan” dan perlu digantikan? Kalau hal itu yang ada, negara ini memang sudah pada ambang kehancuran yang amat sangat. Ingat mengapa legeslatif ontran-ontran bahkan sampai pemanggilan pihak kemenhub saja masih gagal, untuk calon Kapolri ini sudah menyatu? KMP dan KIH sudah memiliki agenda yang sama?

Cara jitu menyelamatkan muka dan menyambung urat kemaluan para elit hanya ada di tangan Komjen BG, dengan cara mundur. Namun hal itu jauh api dari panggang melihat bantahan yang begitu keras dari BG. Merasa kriminalisasi atas statusnya, dan tentu Sengkuni-Sengkuni politik menyatakan dukungan kuatnya.

Kemaluan lembaga tinggi negarra dipertaruhkan bukan hanya presiden namun pasti hanya presiden yang akan menanggung risikonya. Kompolnas dan Polri yang menyatakan bersih sebagai landasan presiden mengajukan BG, berseberangan dengan KPK yang tidak ada SP3, berarti akan maju terus telah menetapkan status tersangka. DPR menyatakan layak dan akan melempar siapa yang melantik, lempar tanggung jawab.

Persoalan sekarang bukan lagi korupsi atau tidaknya BG, namun lebih membahayakan saat ini ialah terminologi korupsi yang bisa diartikan berbeda oleh punggawa hukum di Indonesia. Ini sudah sangat mengerikan. Kalau tindak korupsi itu sama arti, akan mudah dilacak dengan pembuktian terbalik pembuktian bahwa dananya atau kekayaannya memang sah dan jelas asal usulnya. Saat arti sudah berbeda, ya sudah semua selesai. Apapun yang dikatakan pihak satu akan dinafikan pihak lain.

Salam Damai....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun