Sewindu sudah perjalanan menuju Sang Khalik Pak Harto, setelah sekian lama sakit dan tidak berdaya, usai 32 tahun memerintah negeri. Suka duka, nestapa, prestasi, dan tidak lupa tragedi tersaji. Entah mengapa Film Surat dari Praha juga ditayangkan bertepatan dengan momen ini.
Film yang menyajikan salah satu kasus asmara yang terhalang rezim kala itu. Perjalanan panjang dan jauh harus dilakoni para tokoh di dalamnya. Beberapa hal menarik yang patut untuk dilihat
· Kekejaman
Meskipun tidak ada kekerasan fisik, namun kekejaman non verbal sangat kerasa. Bagaimana tampilan wajah yang tidak ada ramah, senyum, dan tutur kata lembut, selain hanya beberapa adegan yang sangat humanis, tangis haru dan sedih, sedang kematian malah ditingkahi surat wasiat yang menjadi pokok sepanjang film. Ini hanya ekses dari kejamnya rezim yang tidak hendak mau meneruskan perjuangan dan garis pembangunan terdahulu.
· Kesepian
Bisa dibayangkan sekian puluh tahun terombang-ambing tidak ada kemampuan untuk sedikit saja mengabarkan keadaan, dibahasakan dengan dialgog, “Ibumu tidak mungkin aku hancurkan karena ada ikatan asmara dengan tapol, itu namanya tidak bersih lingkungan.” Hanya bekawan dengan anjing dan menghibur diri dengan alat musik yang mampu memberinya banyak kenangan yang terenggut itu bisa terjalin.
· Luka batin
o Korban rezim
Sarjana nuklir, calon kebanggaan bangsa harus menjadi pesuruh. Bakat, kepandaian, kecerdasan, dan asmara yang bergelora itu hilang, dan musnah. Itu yang membuat si tokoh utama tampil, keras, kaku, tidak peduli, dan asyik dengan dunianya sendiri. Ini hanya gambaran yang mewakili jutaan kasus yang sama, kalau bukan pelaku, juga anak dan ironis sunggh ironis, cucu yang kadang tidak tahu lagi apa itu orde berebut kala itu.
o Pasangan
Pacar yang ditinggalkan, ternyata menyimpan luka itu yang berimbas ke anak dan pasangan yang ia nikahi. Bagaimana menjadi anak yang harus terlepas dari kasih seorang ibu yang asyik dengan penantian dan datangnya surat yang sama sekali sudah bukan lagi bisa ia miliki.