Entah apa motivasi Fahri yang sudah kehilangan legitimasinya jadi anggota dewan ini. sejatinya ia tahu dengan baik soal kedudukan dia itu, sudah tidak legitim, maka dia menunda dengan menggugat ke pengadilan. Melihat keadaan tidak menguntungkan, ia mewacanakaan hak angket untuk membawa kasus Luar Batang ke ranah dewan dengan sasaran hingga ke presiden segala.
Aneh, pertama, soal penggusuran sudut pandang warga oleh pihak pemda dinamai sebagai pembenahan dan pengaturan. Wajar ada dua nama menurut sudat pandang. Berarti harus ada satu pengadil atau wasit yang dipercayai di Indonesia, yaitu pengadilan.
Kedua, dewan itu tetap saja ranah politik, penyelesaian bukan soal benar salah, mana berhak dan tidak, namun cenderung kepentingan, dan kuat-kuatan. Kekuatan lobi bisa mengatakan yang benar menjadi salah dan sebaliknya. Jangan lupa pilkadasung yang mau diamputasi belum lama lho.
Ketiga, kasihan MUI dilibatkan dalam ranah politik dan kepentingan yang jauh dari ranahnya. Bisa saja dengan pembenar-pembenar akhirnya berkaitan, namun akan kasihan kalau ternyata keputusannya berbeda dengan dewan, malah mempermalukan MUI. (Atau karena dia tahu sudah tidak punya daya di dewan)
Keempat, masyarakat di sana, mengapa sebelum ada program pemda mereka tidak pernah datang ke sana, misalnya mengajak mereka lebih rapi, menjamin kehidupan yang lebih tertata, dan sebagainya. Ketika ada program daerah, langsung semua datang dan merasa menjadi pembela paling berjasa, selama ini ke mana?
Ada tiga  pihak yang dipakai oleh Fahri demi kepentingan sendiri, pertama jelas dewan, ada DPRD Jakarta kog, mengapa harus pusat. Sasarannya pun hingga presiden. Lembaga MUI, yang mau diajak molitik tentu sesuai kepentingannnya. Dan jelas warga Luar Batang yang jauh lebih dimanfaatkan.
Semua program kalau bukan rekannya dianggap merusak, kalau kelompoknya merusakpun dianggap baik, negara ini tidak akan pernah maju. Stop politisasi busuk itu. Kritis bukan berarti membubarkan yang baik dan mempertahankan yang buruk. Kritis itu meluruskan yang bengkok dan memberikan apresiasi yang benar. Contoh konkret, adalah memberikan harapan karena mendapatkan kepentingan sesaat demi jabatan, kursi, dan keuntungan. Apakah sikap yang sama juga terjadi, jika bukan karena ada pilkada? Sama sekali tidak. Sikap setahun lalu berbeda dengan hari ini.
Sekarang ini, semua yang ditertibkan/digusur, biar tidak dikatakan membela sepihak, akan selalu dibela mati-matian, padahal selama ini mereka tidak tahu apa-apa mengenai kawasan, keprihatinan, atau keadaannya sama sekali, namun mengapa, semua bisa dengan tiba-tiba menjadi pengacara, ahli tata kota, dan humanisme jempolan padahal selama ini sama sekali tidak pernah mewakili model demikian itu.
Politik itu baik. Seni di dalam mendapatkan kekuasaan, namun politikus, orangnya, belum tentu baik. Orang yang jahat dan haus kekuasaan akan membawa politik ke jurang  paling dalam jahatnya dan di tangan politisi baik politik itu baik juga adanya. Sikap inilah yang perlu untuk dicermati. Bukan politiknya yang busuk.
Standart ganda selalu dipakai. Ketika menguntungkan diingat, ketika susah ya sayonara. Mana ada kepedulian selama ini, mengapa tiba-tiba menjadi seksi? Adanya kepentingan, di sinilah politikus jahat hadir dan mempengaruhi. Siapa jahat siapa baik itu bisa ditandai dari motivasi, cara, dan hasilnya. Potong kompas, budaya instan, dan menggunakan segala cara, cara jahat pun asal menghasilkan itu ciri politikus jahat.
Politisasi bukan jalan keluar yang baik, selain akan tarik ulur dan penuh kompromi yang belum tentu benar. Ranah peradilan yang jauh lebih bisa dipercaya, meskipun peradilan masih pula dikuasai kekuasaan yaitu uang, namun jauh lebih obyektif daripada gedung kura-kura. Kasihan rakyat dan masyarakat yang diombang-ambingkan politikus busuk demi kepentingan sendiri.