Bu Mega, Awas Banteng (PDI-P) Mengidap Kanker Parah
Kalah menang dalam politik adalah hal yang biasa. Kekalahan berulang merupakan hal yang perlu perhatian. Berkali ulang PDI-P “dipecundangi” lawan-lawannya, yang secara matematis, secara pengalaman, dan secara politis sendiri sebenarnya jauh di bawah. Sejak era reformasi terjadi, PDI-P kerap merasakan kegetiran di depan mata melayang kemenangan yang sudah hampir teraih. Di gedung dewan kala pemilihan oleh MPR pengalaman Mega ditelikung dan digunting dalam lipatan. Benar bahwa politik itu penuh kepentingan dan perlu kadang “culas”, namun cerdik dan tulus seharusnya juga seiring sejalan, bukan semata culas.
Pilkada Jakarta menjadi bukti sahih, terbaru, dan paling menyesakan bagi PDI-P, usai Banten memberikan sajian yang identik. Pilihan dukungan yang ternyata tidak berdaya, bukan soal cara mendapatkan, namun hasil akhir yang berbeda dengan apa yang seharusnya. Pilkada serentak 2018 sudah perlu dipikir masak-masak oleh PDI-P, jika tidak mau ditertawakan politikus abal-abal lebih keras. Pilkada ini upaya terakhir melihat peta di 2019, agar tidak mengulangi lagi apa yang terjadi.
Apa yang menjadi kontributor terbesar atas kekalahan ini?
Pertama, kader yang bisa bermanufer, jumpalitan, dan seolah tidak ada peringatan dan seruan yang langsung, jelas, dan lugas. Selain di dewan pusat, dewan daerah seperti ditunjukkan Edi Marsudi dan kawan-kawan sejak sebelum pilkada DKI hingga pilkada berlangsung, memperlihatkan kinerja nol besar dari parpol.Seperti ada pembiaran. Jangan salah jika mulai nyaring terdengar PDI-P No, Jokowi Yes.
Kedua, oposisi padahal pengusung pemerintah. Termasuk menghantam dengan telak lebih keras dari pada kubu sebelah terhadap pemerintah dan jajarannya. Terbaru apa yang disampaikan Masinton mengenai KPK. Siapa KPK? Kan alat negara yang perlu dikuatkan bukan malah dirongrong. Merongrong KPK juga menggerogoti pemerintah. Dukungan pada pemerintah seolah setengah hati sejak awal malah. Entah apa yang ada di benak PDI-P yang seolah membiarkan Jokowi menjadi bulan-bulanan dan kerja sendirian untuk menjalankan roda pemerintahan. Untung parpol pengusung dan pendukung masih lebih baik bersikap.
Ketiga, korup. Kader korup mulai dari pusat hingga daerah. Memang langsung ada pemecatan, namun apakah itu cukup, dan tidak menjadi masalah? Jika mereka maling untuk mereka sendiri dan bukan buat partai katakan dengan jelas dan lugas, sehingga perilaku tamak bukan demi partai itu jelas. Selain yang sudah tertangkap, masih banyak kader yang terindikasi maling dan masih tenang-tenang saja, tanpa ada dorongan dari partai untuk bebersih. Rakyat mulai muak dengan perilaku maling ini, jangan kaget kalau makin terpuruk arpol di pilkada nanti, dan juga pemilu mendatang.
Keempat, setia hanya di depan, soal di belakang, menjalankan perintah, atau mau mendengarkan ketum ternyata bisa dinilai sebaliknya. Susah melihat mana kader loyal asli atau loyal demi kedudukan sendiri, soal partai mau bangkrut atau tidak mana peduli. Perilaku ini sangat kentara bisa dinilai dari perilaku mereka yang tidak menjalankan komando keputusan yang telah diambil. Iya di depan soal jalan atau tidak, bukan pokok pikiran mereka.
Kelima, sikap kebanyakan kader hanya ndompleng urip,ikut hidup tapi perilaku sebaliknya. Masih baik kader dulu seperti Eros Jarot yang berbeda kemudian keluar. Ini sudah tidak menjalankan keputusan partai masih nyaman duduk di kepengurusan dan juga dewan, tanpa merasa bersalah. Model mengabdi dua tuan begini berbahaya bagi lembaga, organisasi, dan juga kelompok, dan dominan di PDI-P adalah kader model ini.
Keenam, banyak kader potensial terpental karena akses ke ketum sangat jauh dan banyak dimainkan petualang politik yang hanya mencari untung sendiri. Hal ini terlihat dan menjadi penyakit yang kronis bagi tumbuh kembang partai.
Saya bukan kader PDI-P, belum juga pernah memilih partai ini, tapi melihat rekam jejak parpol lain, minimalis malus,yang ada hanya partai ini, dari segi nasionalis, kemauannya menjaga pluralitas hidup berbangsa, paling sedikit kolaborasi dengan radikalis, tentu sayang jika harus hancur justru oleh perilaku kader dan anggota yang memang tidak mau kerja baik.