Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Belajar Menang dari Hillary Clinton

11 November 2016   06:44 Diperbarui: 11 November 2016   09:50 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kandidat presiden AS dari Partai Demokrat Hillary Clinton memberi sambutan di hadapan para pendukung dan anggota tim kampanye di sebuah hotel di Manhattan, New York, Rabu (9/11/2016). (JUSTIN SULLIVAN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP)

Pemilihan presiden USA telah usai dan Donald Trump sebagai pemenang. Kandidat yang berkompetisi ada dua, identik dengan pilpres Indonesia. Dua yang membuat kutub sangat jelas separasi, tidak dukung satu pasti dua, dan sebaliknya. Hingga hari ini pun pengaruh itu masih ada. Apa yang ditampilkan Hillary yang langsung menyatakan selamat dan Obama sebagai partai berseberangan untuk mengajak rakyat mendukung Trump merupakan sebuah kemenangan hati, bukan soal menang kalah dalam pilpresnya.

Debat, jelas menang Hillary yang sudah malang melintang dalam dunia birokrasi, politik, diplomatik, dan tata negara, selain menjadi istri presiden, pernah pula menjadi menteri luar negeri. Tidak heran kalau ia bisa mengungguli Donald Trump yang memang berangkat dari bidang yang berbeda.

Survey, melihat tingkah polah, rekam jejak dan selama kampanye yang minir, tidak heran banyak survey lebih memberikan hasil keunggulan Hilllary. Hampir sebagian besar tidak ada yang mengunggulkan Trump, bahkan pendukungnya pun kaget bisa seperti itu hasilnya.

Belajar dari hati yang besar dan menang dari Hillary. Kita tengok ke belakang, bagaimana demokrasi kita masih perlu belajar, meskipun telah memiliki presiden perempuan dibandingkan USA, namun soal menerima kekalahan masih jauh perlu belajar. Pengakuan pihak lawan yang menang sebagai sebentuk respek itu sangat berat, apalagi detik pertama dari perhitungan.

Tuntut sana-sini, gugat sana-sini, dengan bukti asumsi, abal-abal, dan klaim semata. Bandingkan tentu banyak yang tahu gaya Trump yang sembrono, bahkan menyatakan hanya mengakui kalau menang bukan kekalahan, kalau di Indonesia pasti akan dikatakan bahwa Trump mengadakan intimidasi, membeli suara, toh dia kaya raya, dan sebagainya. Sama sekali tidak ada yang menggugat itu, selain keberatan beberapa kelompok bukan soal pemilu namun masa depan mereka karena pemikiran rasialis yang melekat dan memang dikatakan oleh Trump selama ini. Soal pemilu tidak ada tuntutan, gugatan, atau demo, beda bukan?

Survey yang ada bukan sebagai bahan untuk menciptakan fitnah, data abal-abal, atau tuduhan bahwa penyelenggaraan telah melakukan kecurangan, konspirasi kalau memang tidak menghendaki kemenangannya, dan sejenisnya. Survey yang bisa saja salah tidak menjadi pedoman mutlak, berbeda bukan? Di sini, survey sudah seperti keputusan pasti, yang bisa menjadi bias, padahal jelas-jelas surveynya bisa dipesan lagi.

Kesiapan menang dan kalah yang harus dibangun, sehingga akar rumput tidak memanas dan menjadi mengristal perselisihan, permusuhan, dan tidak menerima kekalahannya dukungannya. Yang berkompetisi dan pengikut utamanya harus menunjukkan sikap itu, sehingga menular. Kita masih jauh dari sikap demikian, malah kadang lebih dulu akar rumput yang telah bersama-sama.

Penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien memang masih sebuah bentuk pencarian terus menerus dari bangsa ini. Kecurigaan, ketidakpercayaan, serta yakin akan sistem dan proses akan mengurangi perselisihan dan tuduhan berkepanjangan. Persoalan hingga hari ini di sini adalah sistem pemilu dan para penyelenggara yang memang masih belum bisa dipegang kepercayaannya. Artinya kepribadian penyelenggarannya pun masih perlu dibenahi selain teknologi.

Apa yang bisa dilakukan agar makin baik pemilu kita?

Manusia yang bertanggung jawab dan sportif. Jiwa ini akan membantu kemajuan bangsa, di mana sikap sportif menerima kemenangan tidak dengan jumawa dan meremehkan, kalah pun memberikan ucapan selamat dan berdiri tegak. Selama ini masih jarang dan bahkan boleh dikatakan barang langka. Pasti akan lahir cercaan, tuduhan, lapor sana-sini, dan sejenisnya.

Teknologi yang makin maju bisa dipikirkan sehingga mengurangi kecurigaan, tapi orangnya diperbaiki dulu, kalau tidak, semodern apa pun akan dituduh juga, namanya manusia gak bisa maju dan masih mengandalkan pokoke.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun