Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Pengalaman AKBP Untung Sangaji, Mentalitas Atasan, dan Birokrasi Negeri Dibangun

11 April 2016   10:56 Diperbarui: 11 April 2016   11:07 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kombes Untung ini, salah satu polisi yang pertama kali mengetahui adanya terorisme di Thamrin beberapa saat lalu. Berjibaku dengan pelaku teror dan benar-benar tembak menembak secara langsung. Apresiasi dari atasan adalah pin emas.

Kisah yang identik, seorang guru saya, berkisah, bahwa sebelum menjadi guru, beliau pernah bekerja di sebuah lembaga. Pekerjaan yang enak, menantang, dan menjanjikan. Semua berjalan sangat lancar dan menyenangkan. Namun tiba-tiba berubah, ketika setiap dua atau tiga bulan beliau dipindah divisi. Selalu terulang sekian divisi yang ada di sana. Berpikir pendek, beliau maju pada pimpinan dan mengatakan akan mengundurkan diri.  Pimpinannya masih menahannya dan memintanya memikirkan ulang. Beberapa saat kemudian beliua tetap pada pendiriannya, dan tetap minta mundur. Saat pamitan sang pimpinan mengatankan, “Selamat ya, kamu sudah memutuskan untuk keluar, saya tidak bisa menghalang-halangi, itu keputusan dan hidupmu. Sebenarnya saya sangat berharap banyak kepadamu.” Sebagai balasan basa-basi ia menyatakan,”Kalau berharap banyak mengapa saya selalu dipindah-pindah.” Pimpinannya mengatakan yang sungguh mengagetkan,” Kamu salah sangka, kamu tidak tahan uji, karena kamu sedang aku kursuskan untuk semua bidang, agar bisa menguasa semuanya, sebelum kamu diangkat menjadi kepala di antara mereka.”

Ketika membaca komentar Pak Untung di media, sebelum ada komentar dari kapolri, saya terhenyak juga mengetahui ada seorang perwira mengumbar perasaannya ke media massa. Kombes Khrisna mengatakan bahwa dia juga di sana, tidak dapat kenaikan pangkat, pin pun tidak, tidak perlu kecewa. Sepakat bahwa memang kecewa, namanya manusia, pantas meminta “balas jasa” untuk prestasinya, naik pangkat, atau penghargaan lain. Tentu ini adalah pemikiran yang wajar dan sangat normal. Sayangnya mengapa ke media. Bukan menyalahkan medianya, namun tentu bukan sebagai tempat yang  tepat.

Menjaga diri dan sabar

Menjaga diri berarti bahwa tidak mudah mengungkapkan perasaan dengan sembarang. Media dan media sosial sering menggoda untuk berbagi, namun kalau tidak hati-hati bisa jadi bumerang. Apa yang kita pikirkan belum tentu sama dengan yang dipikirkan orang lain apalagi Tuhan bukan? Waktu yang sering menjadi ajang pembuktian. Waktu berkaitan dengan kesabaran. Paling tidak sudah ada dua pengalaman dari dua polisi dulu Kamaru yang tergesa mundur dari polisi dan dunia artis menguap. Kali ini Kombes yang mau jadi Kapolres harus melayang hanya kurang sabar.

Mengatakan kepada yang berwenang, bukan pada pihak lain.

Seperti guru tadi, jika ia mengatakannya dengan baik, tentu akan berbeda hasilnya. Diam dan memutuskan sendiri ternyata bukan keputusan pihak atasan. Sama juga dengan polisi Untung ini, yang akan dipromosikan malah menguap karena mengatakan pada pihak yang salah.

Apakah ini kejujuran yang mencelakakan?

Bukan, namun sikap sembrono. Benar bahwa ia mengatakan kecewa, namun bukan segalanya bukan? Toh rekannya yang lain juga mengalami, ada yang lebih tragis hadiahpun tidak ada, memang berbeda sikap dan penerimaan orang akan apapun, itu wajar, berkaitan dengan pengalaman, pendidikan, dan sikap dalam bereaksi. Cara mengungkapkannya yang tidak bisa diterima dengan baik, mungkin di Barat hal ini tidak akan berpengaruh pada penilaian kerja. Namun di sini jelas berperan penting. Suka atau tidak suka bahwa kita masih memegang kukuh birokrasi ke atas yang sangat menentukan. Sikap mempertanyakan bahwa hadiah atas prestasinya itu dinilai tabu. Kapolri mengatakan itu sebagai tidak bersyukur. Sudut pandang yang berbeda tentunya. Sangat wajar di Indonesia pehaman model demikian.

Apakah benar Pak Kapolri akan mengangkatnya menjadi kapolres? Belum tentu juga. Bisa saja beliau merasa ditelanjangi anak buah, sebagai reaksi balasan dengan cepat beliau katakan tidak jadi kapolres dan tidak bersyukur atas hadiah yang sudah diberikan. Ingat budaya atasan yang demikian kuat di bangsa ini belum juga luntur. Soal jabatan itu bisa ada bisa juga tidak.

Sikap mentalitas atasan nyata dengan cara berjalan minta dipayungi, jalanan harus lenggang dengan pengawalan ketat, ajudan berderet-deret membawakan map, tas, pena, tablet, memajukan kursi kalau mau duduk, itu serombongan bukti mentalitas atasan, senioritas, dan vertikal sangat kuat. Jangan heran kalau ada anak muda yang mau moncer akan diiyik-iyik, mirip ayam yang masuk ke kalangan yang lebih besar akan dikejar hingga tidak bisa apa-apa. Mengritik atasan yang demikian akibatnya. Ingat kepolisian setiap pergantian selalu saja kisruh soal angkatan berapa bukan bisa apa, prestasinya bagaimana, dan apa negara akan diuntungkan dengan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun